Ramadhan Di Kapuas

“Asholatu lailahaillallaaaaaaaaaahhhhhhhh….”

Terdengar pekik seorang anak di masjid saat sholat tarawih. Tidak perlu menoleh ke arah suara tadi pun saya sudah tahu bahwa anak itu adalah Manda. Siapa Manda? Manda adalah salah satu kawan saya di Terusan Tengah. Umurnya sekitar 13 tahun. Orang-orang mengenalnya sebagai juara satu tenis meja se-kabupaten Kapuas untuk tingkat sekolah dasar. Bahkan, di Terusan Tengah sendiri, dirinya hanya bisa dikalahkan oleh Pak Bardin, juara langganan tenis meja 17 Agustusan.

Teknik Manda dalam bermain tenis meja memang tergolong istimewa, terutama serve-nya. Bola dari dirinya berputar (mluntir), dan rendah. Bola seperti ini tidak bisa di-smash, tapi hanya bisa dikembalikan dengan sedikit diangkat. Dan bila bola dari kita terlalu tinggi sedikit saja, siap-siap lah menerima smash dari Manda. Cthak!! Rasain lu…

Dan karena saya ingin mengukur kehebatan Manda sekaligus berbekal keyakinan diri bahwa “anak ingusan ini bisa dikalahkan dengan mudah”, suatu waktu saya menantangnya. Tidak tanggung-tanggung, saya janjikan dia segelas Pop Ice bila bisa mengalahkan saya.

…

Pertandingan pun selesai dan Manda bisa menikmati Pop Ice rasa cokelat di warung Mama Vety, gratis tentunya.

Manda adalah anak dari Pak Ilham, pria aseli daerah Kandangan, Kalimantan Selatan yang bekerja sebagai staf di SMPN 3 Selat. Kata Pak Mamad, saya harus berhati-hati bila berhadapan dengan orang Kandangan: mereka biasanya membawa belati di pinggang mereka. Pelajaran moral kesebelas: jaga bicara bila berhadapan dengan orang Kandangan, bisa-bisa Anda tertusuk belati sebelum sempat minta maaf.

Kembali ke to...pik!

Awalnya, saya agak heran waktu sholat tarawih berjamaah di masjid blok B Kiri ini. Pertama, soal jumlah makmum. Makmumnya paling banyak ‘cuma’ 2 baris, padahal kalau sholat Jum’at bisa sampai 4-5 baris. Lalu, kemana orang-orang yang lain? Usut punya usut, ternyata di blok B Kiri ini terdapat banyak langgar (surau) dan kebanyakan orang sholat tarawih di langgar-langgar ini.

Kedua, soal pakaian. Mayoritas makmum mengenakan setelan seperti ini: baju koko lengan panjang (biasanya berwarna putih), memakai sarung…dan tidak lupa, kopiah! Jadi, kesannya seperti seragam. Tidak seperti di kampung saya di Jawa yang pakaiannya waktu sholat tarawih berwarna-warni. Pernah saya sholat tarawih di salah satu masjid di Kuala Kapuas tanpa memakai kopiah, dan ternyata satu-satunya yang tidak memakai kopiah, memakai kemeja lengan pendek dan celana jeans ya saya sendiri (jadi berasa aneh gitu deeeh…).

Ketiga, soal jumlah rekaat. Di Jawa, hampir selalu saya sholat tarawih dengan jumlah 11 rekaat (4 rekaat – 4 rekaat – 3 rekaat). Sedangkan di Terusan Tengah, jumlah rekaatnya, 23 rekaat (2 rekaat hingga 11 kali ditambah 1 rekaat 1 kali). Biasanya dimulai jam 18.30 WIB dan berakhir jam 19.30 WIB, tanpa diselingi ceramah. Saya pikir akan sangat melelahkan dengan jumlah rekaat sebanyak itu, tapi tidak juga. Malah, sekembalinya di Jawa saya terkantuk-kantuk saat sholat tarawih. Walaupun rekaatnya cuma 11 rekaat, bila sholat tarawih dengan jumlah rekaat sebanyak itu, bacaan imam akan lebih lambat dari yang jumlah rekaatnya 23.

Kuliner

Tentang kuliner saat bulan Ramadhan, di Kuala Kapuas tepatnya di daerah pasar, ibu-ibu yang kebanyakan berasal dari suku Banjar mendirikan warung-warung dadakan. Mereka umumnya berjualan wadai (kue). Biasanya mereka mulai berjualan jam 3 sore dan tutup malam harinya. Kue yang dijual sangat sangat beragam. Dari bingka, kalapon (sama dengan klepon di Jawa), amparan tatak, agar-agar hingga es buah. Harganya pun tidak terlalu mahal. Bila Anda sendirian, uang 10 ribu sudah cukup untuk membeli 2 macam kue dan satu plastik es buah. Kebanyakan kue-kue ini memiliki cita rasa manis, semanis gadis-gadis Banjar…hehe…Untuk urusan kue, wanita Banjar memang jagonya!