~ Oprah Winfrey
Aku menulis bab ini bukan karena aku sudah sukses, lalu menceritakan bagaimana aku bisa sukses. Bukan seperti itu. Sukses versiku adalah ketika seseorang sudah berkeluarga dan mempunyai anak, lalu anak perempuannya sudah menikah semua dan atau, anak lelakinya sudah bekerja semua. Dan aku, tentu saja masih jauh dari itu.
Tapi sebenarnya, aku sendiri juga bersyukur atas apa yang sudah aku dapat selama ini. Termasuk di dalamnya, kegagalan-kegagalan yang pernah aku alami.
Contoh yang paling akhir, dan paling aku ingat adalah kisah dua tahun yang lalu. Saat itu, aku baru saja putus dengan mantan pacarku. Mantan pacarku tidak terima lalu meneror semua orang yang ada sangkut pautnya denganku, baik itu orang tua, teman maupun dosen-dosenku. Tidak itu saja, dia juga meneror tempat kerjaku! Aku sebenarnya ingin kerja di Jakarta, tapi orang tuaku tidak mengijinkan, terutama ayah. Ayah ingin aku jadi pegawai negeri saja, tidak jauh-jauh dari Wonogiri.
Beberapa bulan aku menunggu lowongan menjadi pegawai negeri, akhirnya kesempatan itu datang juga. Saat itu ada lowongan pegawai negeri di daerah Sragen. Aku mencobanya dengan keyakinan penuh, bahwa aku akan lolos. Tapi nasib berbicara lain, walau aku sukses dalam tes pengetahuan umum sampai psikotes, aku akhirnya gagal dalam tes wawancara. Aku hampir tidak percaya.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah kesempatan berikutnya, yaitu lowongan menjadi dosen di almamaterku. Aku melalui tes tertulis tanpa kesulitan yang berarti. Dengan kepercayaan diri yang tinggi serta pengalaman gagal di Sragen, aku menghadapi tes wawancara dengan keyakinan penuh bahwa aku bakal diterima menjadi dosen. Tapi yang terjadi lagi-lagi “kegagalan”. Gagal sekali biasa, tapi gagal dua kali bagiku menyakitkan. Belum lagi menghadapi teror yang dilancarkan mantan pacar. Aku terjepit.
Tapi Tuhan menolongku. Datang pengumuman dari Departemen Kesehatan bahwa akan dibuka kesempatan PTT bagi dokter umum untuk ditempatkan di luar Jawa. Aku mendaftar tanpa sepengetahuan ayah, dan begitu diterima ayah pun melepasku dengan berat hati. Tepat sebulan aku di perantauan, aku mendapat kabar buruk dari Jawa, ayahku kecelakaan dan koma di ICU.
Gagal itu perlu.
Aku bersyukur tidak diterima menjadi pegawai negeri di Sragen dan aku bersyukur tidak diterima menjadi dosen di almamaterku, karena dengan begitu, aku bisa mendapatkan satu tahun yang berharga selama di Kalimantan. Aku mendapatkan banyak hal-hal baru, yang itu mungkin tidak akan pernah aku dapatkan di Jawa dalam rentang berapa tahun pun. Tidak ada satu pun di dunia ini yang didapatkan secara gratis.
Untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan sesuatu.
Tapi sebenarnya, aku sendiri juga bersyukur atas apa yang sudah aku dapat selama ini. Termasuk di dalamnya, kegagalan-kegagalan yang pernah aku alami.
Contoh yang paling akhir, dan paling aku ingat adalah kisah dua tahun yang lalu. Saat itu, aku baru saja putus dengan mantan pacarku. Mantan pacarku tidak terima lalu meneror semua orang yang ada sangkut pautnya denganku, baik itu orang tua, teman maupun dosen-dosenku. Tidak itu saja, dia juga meneror tempat kerjaku! Aku sebenarnya ingin kerja di Jakarta, tapi orang tuaku tidak mengijinkan, terutama ayah. Ayah ingin aku jadi pegawai negeri saja, tidak jauh-jauh dari Wonogiri.
Beberapa bulan aku menunggu lowongan menjadi pegawai negeri, akhirnya kesempatan itu datang juga. Saat itu ada lowongan pegawai negeri di daerah Sragen. Aku mencobanya dengan keyakinan penuh, bahwa aku akan lolos. Tapi nasib berbicara lain, walau aku sukses dalam tes pengetahuan umum sampai psikotes, aku akhirnya gagal dalam tes wawancara. Aku hampir tidak percaya.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah kesempatan berikutnya, yaitu lowongan menjadi dosen di almamaterku. Aku melalui tes tertulis tanpa kesulitan yang berarti. Dengan kepercayaan diri yang tinggi serta pengalaman gagal di Sragen, aku menghadapi tes wawancara dengan keyakinan penuh bahwa aku bakal diterima menjadi dosen. Tapi yang terjadi lagi-lagi “kegagalan”. Gagal sekali biasa, tapi gagal dua kali bagiku menyakitkan. Belum lagi menghadapi teror yang dilancarkan mantan pacar. Aku terjepit.
Tapi Tuhan menolongku. Datang pengumuman dari Departemen Kesehatan bahwa akan dibuka kesempatan PTT bagi dokter umum untuk ditempatkan di luar Jawa. Aku mendaftar tanpa sepengetahuan ayah, dan begitu diterima ayah pun melepasku dengan berat hati. Tepat sebulan aku di perantauan, aku mendapat kabar buruk dari Jawa, ayahku kecelakaan dan koma di ICU.
Gagal itu perlu.
Aku bersyukur tidak diterima menjadi pegawai negeri di Sragen dan aku bersyukur tidak diterima menjadi dosen di almamaterku, karena dengan begitu, aku bisa mendapatkan satu tahun yang berharga selama di Kalimantan. Aku mendapatkan banyak hal-hal baru, yang itu mungkin tidak akan pernah aku dapatkan di Jawa dalam rentang berapa tahun pun. Tidak ada satu pun di dunia ini yang didapatkan secara gratis.
Untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan sesuatu.
8 komentar:
Nice inspiratif posting...thanks
Gagal maning gagal maning son....
Kadang hidup memang seperti itu yaa seperti anak tangga untuk mencapai sesuatu.
Apa yang kita anggap baik belum tentu itu yang terbaik.
Kalau saya selalu berdoa agar diberikan kemudahan dan diberikan sesuatu yang terbaik, sebab baik menurut saya belum tentu baik menurut Alloh swt
baca postingan ini bikin aku bicara "ternyata bukan cuma aku yang seperti ini" ke diriku sendiri :D nice post...
semangat bro!
trus...
kbr mantan pacarnya gmn? :-P
coba lagi ..coba lagi..coba lagi..jangan berhenti...!
di tempat sekarang uda betah dok?
kegagalan mang kadang bikin down.. tp kegagalan itu pula lah pelajaran yg sangat berharga....
wid suka dengan rasa syukur seorang andri journal... semangat yaa... :-)
Jeng Srintil:
dan sekarang saya sedang mengalami hal tersebut... Semoga memang akan berujung yang terbaik...amin
Posting Komentar