Tak tahu harus menulis apa. Aku seperti naik kereta api super cepat TGV. Hal-hal yang ada di depan mata tak bisa kulihat dengan jelas dan detil. Aku juga tak punya apa itu photographic memory, sehingga aku harus berpikir sedikit lebih lama dari kebanyakan orang untuk menganalisa sesuatu. Aku hanya bisa melihat pemandangan yang jauh, konstan dan menjemukan. Ini adalah kerugian, manakala kamu telah mengalami banyak hal tapi tidak bisa menarik pelajaran dari situ. Aku berangkat kerja di pagi hari, lalu pulang malam hari. Tidur setelah menelfon pacar. Atau kadang malah tidak tidur, karena harus jaga malam di rumah sakit.
Waktu seperti roda pedati. Kadang berputar lambat kala jalanan menanjak, kadang berputar cepat kala jalanan menukik. Seperti halnya teori Einstein tentang apa itu dilatasi waktu, bahwa orang yang bergerak mendekati kecepatan cahaya maka waktu akan berjalan lebih lamban bagi orang itu. Dan sekarang, rasanya pedati itu seperti sedang menuruni jalanan Tawangmangu yang terjal dan berliku.
Praktek dokter di rumah semakin sepi saja. Aku jarang buka praktek sekarang. Setelah satu minggu mengikuti pelatihan di Bekasi (16 - 20 Mei 2010), selang satu minggu kemudian (30 Mei - 5 Juni 2010) aku dikirim ke Surabaya untuk mengikuti pelatihan dengan topik yang kurang lebih sama. Sepulang dari pelatihan pun aku lebih sering jaga sore. Akibatnya jelas, pasien yang sebelumnya satu-dua datang, kini tak ada lagi. Tidak jelasnya waktu buka praktek akan sangat mempengaruhi kedatangan pasien yang hendak berobat.
Padatnya jadwal jaga membuatku sedikit terlambat mem-follow up hasil pelatihan. Pertemuan dengan pihak manajemen RS baru terlaksana dua minggu sepulang dari Surabaya. Ikut dalam pertemuan itu dokter spesialis paru, tiga perawat dan seorang analis laborat.
Kami membahas jejaring internal DOTS di RS. Tujuannya yang jelas supaya pencatatan dan pelaporan kasus TB menjadi teratur. Konsepnya begini, perbaiki apa yang ada di dalam dulu, baru kemudian mencoba memperbaiki keadaan di luar. Untuk itu aku mengusulkan tiga hal. Pertama, pelayanan TB dilakukan satu pintu, melalui sebuah unit bernama Unit DOTS. Pasien TB dewasa, baik paru maupun ekstra paru, diterapi Unit DOTS. Sementara itu pasien TB anak, diterapi oleh spesialis anak, dengan pencatatan yang jelas.
Kedua, perlunya perawat yang full time mengurusi hal itu, mulai dari pencatatan dan pelaporan, penunjukan PMO dan konsultasi. Dan ketiga, pemeriksaan dahak untuk tersangka TB memakai blangko TB 05, yang mana penomorannya dilakukan di Unit DOTS.
Tanggapan dari pihak manajemen RS saat rapat cukup bagus, dan aku harap tiga hal itu bisa terlaksana dalam waktu dekat. Semoga.
7 komentar:
mungkin perlu rehat sejenak, dok..
bener DOTS UNIT...aku kebetulan riset IT nya tentang TB...uwo..uwo..uwo...!!! mudah2an ada hasilnya selain gelar MT ku..uwo..uwo..uwo...!! *__*
Buka praktek to Ndri? Neng Wonogiri?
@ dr tantur: betul dok..
@ tfd: waa..mau dong dikasih tau hasil risetnya. Siapa tahu bisa diaplikasikan di wonogiri.. :)
@ helman: iyo pak..tapi isih sepi..
tetap semangat dan tetap berkarya yah dok! btw, kalo jadwal prakter gak jelas, pasien pasti ogah datang. kali perlu koleksi nomor hp pelanggan, kalo misal mau pelatihan, sms dulu... "aku gak buka praktek seminggu.. balik tanggal sekian.. semoga gak sampai harus membutuhkan dokter..tetap jaga kesehatan" hehehhee...!
sori, ngasal aja nih komenku dok..
good....like your post,,
Livestreamfree.net
tak ada yang menjemukan kalau kita bisa menikmati segala sesuatu
Posting Komentar