Quote




Be thankful for what you have; you'll end up having more. If you concentrate on what you don't have, you will never, ever have enough.

~ Oprah Winfrey

Senin, 13 Juli 2009

Deposito

Kawan tentu sudah mafhum bahwa aku ini orang yang kurang suka menabung. Tapi bukan berarti aku ini seorang bohemian. Ini tentu sangat berbeda sekali dengan Ayah. Awal bulan, setelah menerima gaji, Ayah langsung serta merta menabungkan uangnya ke bank. Bank langganan Ayah bernama Bank Perkreditan Rakyat. Kalau Kawan belum pernah mendengar nama itu, tidaklah aneh. Kantornya kecil saja, dengan beberapa teller yang menurutku kurang eye catching. Tapi pilihan Ayah menabung ke bank ini bukannya tanpa alasan. Bunganya lebih tinggi dibanding bank-bank lain, utamanya bank-bank yang ‘sudah besar’. Ambil contoh deposito. Bunganya per tahun mencapai 10% (untuk deposito berjangka 6 bulan), bandingkan dengan BNI 6,25%, BCA 7,25%, Bank Mandiri 6,50% dan BRI 6,75%. Yang paling mendekati cuma BTPN yaitu 9,50%.

Entah aku harus bilang apa, tapi salah satu kekurangan dari keluarga kami adalah tidak adanya bakat bisnis yang mengalir dalam darah kami. Istilah “berani ambil resiko” kurang familiar di telinga kami. Kakek saya seorang petani yang sekonyong-konyong kerja rodi sampai tua pun, hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Dulu mungkin aku sudah cerita ke kalian bahwasanya Ayah bisa sekolah itu karena dia bekerja menjual layang-layang dan es lilin untuk biaya sekolahnya. Ayah mungkin sedikit durhaka dalam hal ini, karena memang Ayah tidak mau saat disuruh mencangkul ke sawah. Dan kalau pun menjual layang-layang dan es lilin itu dikatakan sebagai sebuah bisnis, sepertinya untung yang diraih juga tidak terlalu banyak.

Ayah menabung karena hanya dengan jalan itulah uangnya bisa diselamatkan. Percaya atau tidak, tuyul itu benar-benar ada. Coba kalian taruh uang satu juta di bawah kasur, dan lihatlah kembali setahun kemudian. Kalau uangnya masih satu juta, sejatinya uang itu tidak benar-benar satu juta adanya. Tuyul itu bernama inflasi. Jadi, uang satu juta sekarang nilainya hanya sekitar 900 ribu saja setahun yang akan datang.

Suami gila menyebut apa yang dia namakan ‘diversifikasi’ untuk menyelamatkan uang dari inflasi. Jadi bila Anda punya uang 50 juta, pertama-tama masukkan ke dalam investasi yang paling cepat berbuah, meski itu beresiko, yaitu reksadana. Katakanlah berbuah menjadi total 100 juta. Dari 100 juta itu, tarik 50 juta modal awal keluar dari reksadana dan belikan rumah kontrakan. Dari rumah kontrakan ini tentu bisa berbuah uang juga. Sekarang berarti sudah ada dua income, yaitu dari reksadana dan rumah kontrakan. Income ini dikumpulkan untuk investasi yang lain, misalnya tanah atau emas batangan. Demikian seterusnya. Kelihatannya mudah bukan?

Deposito vs Reksadana

Ada beberapa perbedaan besar antara deposito dan reksadana. Pertama, return (tingkat pengembalian) reksadana bisa jauh lebih besar daripada kalau Anda mendepositokan uang Anda. Terutama bila Anda berinvestasi di reksadana saham (jenis reksadana yang paling agresif, dan tentu saja, paling tinggi resikonya). Kata pepatah “high risk, high return”.

Kedua, tidak ada yang disebut jaminan dalam berinvestasi di reksadana. Sehingga ada kemungkinan uang kita berkurang. Ketiga, bila di deposito Anda mendapatkan bunga, maka di reksadana Anda mendapatkan kenaikan NAB Anda (Nilai Aktiva Bersih). Kasarnya begini: bila pada saat membeli reksadana, NAB-nya adalah Rp 1.000,- maka ada kemungkinan NAB itu akan meningkat dimasa depan. Misalnya NAB-nya jadi Rp 1.500,-. Nah, selisih Rp 500,- itulah yang menjadi return (keuntungan) hasil investasi Anda.

Keempat, reksadana memiliki pilihan yang lebih beragam yang bisa disesuaikan dengan tingkat toleransi resiko (baca: seberapa beraninya Anda kehilangan uang). Tersedia reksadana beresiko rendah (reksadana pasar uang), hingga yang cenderung agresif (reksadana saham).

Kelima, rate of return (baca: tingkat keuntungan) reksadana tidak sepenuhnya stabil. Sangat tergantung pada kondisi perekonomian dalam dan luar negeri. Jadi, berhati-hatilah jika memilih reksadana, karena kinerja masa lalu tidak menjamin kinerja masa depan.

Jika berangkat dari bakat “tidak berani ambil resiko”, maka, saat ini, satu-satunya cara untuk menyelamatkan uangku dari jarahan tuyul cuma satu pilihan saja: deposito!

Bagaimana dengan Anda?

7 komentar:

yenni 'yendoel' mengatakan...

suami saya main saham. tapi terus kalo dia investasi beli space atau beli rumah, sahamnya dijual lagi. kalo ada uang lagi, dia beli saham lagi. tapi kalo mau investasi, mungkin paling bagus bentuk tanah atau bangunan. biasanya harganya jarang turun. aku masih tradisional dan kolot. gak terlalu percaya saham..alias gak jago main saham. kalo deposito di china, bunganya rendah banget deh. paling di angka 2% (kalo gak salah lho yah).

kalan mengatakan...

mantaf.... memang hebat nih Pak Dokter..

Anonim mengatakan...

jeng sri:
nabung aja deh,deposito gt...sdikit demi sdikit lama2 jd gunung :D aq g suka yg bresiko,yg pasti2 aja lah...alon2 asal kelakon,jare wong londo ngunu to.. :D

wirati mengatakan...

nabung buat bekal nikah pak dokter

rental mobil mengatakan...

kalau main saham kaya main judi. bisa menang bisa kalah. mending deposito saja deh.

ririn mengatakan...

hm, sebenernya belom jelas juga gimana caranya deposito ga kena inflasi2,, yang jelas kakak'ku buka2 deposito gitu cuma buat nahan belanja2... nabung secara terpaksa gitu,, ntar diakhir taun mendadak kaya,, huahahaha

Surat mengatakan...

I liked image that you have used in the right top of the blog. Really superb!

Recent Comments