
Tapi saya memberanikan diri untuk ikut kompetisi blog yang diadakan oleh Neso Indonesia bekerja sama dengan DagDigDug ini. Bukannya saya takut kalah, malah sebaliknya, saya takut menang. Dalam pengumuman disebutkan: “Pemenang dari masing-masing kategori akan berkesempatan mengikuti Summer Course selama dua minggu (6-17 Juli 2009) di Utrecht University Summer School, Utrecht, Belanda. Di sana mereka akan dapat merasakan langsung suka duka menjadi bagian dari mahasiswa internasional di Belanda, dan memperoleh referensi mengenai budaya dan identitas bangsa Eropa secara umum. Pemenang akan diminta untuk menuliskan pengalamannya selama di Belanda lewat blognya”.
Ommmaaa…
Bagaimana saya bisa bercerita seperti halnya Raditya Dika yang terkenal itu, manakala sudah sampai di Belanda saja lutut saya mungkin bergetar? Bagaimana saya bisa merasakan langsung suka duka menjadi bagian dari mahasiswa internasional di Belanda manakala bicara dengan bahasa Inggris saja masih ba-bi-bu?
Menurut saya, itu semua tak penting. Toh saya punya tujuan lain menulis artikel ini. Saya hanya ingin menyampaikan kepada Anda semua -para pembaca setia Andri Journal yang budiman- bahwa ada satu negara nun jauh di sana yang sistem pendidikannya lebih maju dari Indonesia. Nama negara itu adalah: BELANDA.
Saya mengenal lebih jauh tentang Belanda dari buku karya Prof.Dr.R.M. Padmosantjojo berjudul “Aku dan Bedah Saraf Indonesia” yang diterbitkan oleh PT Bhuana Ilmu Populer. Prof Padmo adalah kepala bagian bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau sempat mengecap pendidikan bedah saraf di RS Groningen selama dua tahun (1966-1968), atas biaya pemerintah Belanda.
Bukan main hebatnya prestasi Prof yang satu ini. Salah satu prestasi kelas dunia yang berhasil beliau ukir adalah pemisahan bayi kembar siam dempet kepala yang dilakukan di Jakarta pada tahun 1987. Sebuah prestasi yang tidak bisa ditandingi oleh ahli bedah saraf manapun di tahun yang sama.
Beliau pernah ditawari menjadi pegawai di Belanda karena prestasinya itu, dengan gaji yang lebih tinggi daripada menjadi pegawai negeri di Indonesia tentunya, tapi beliau menolaknya semata-mata demi darma baktinya kepada tanah air.
Studi Di Belanda
Dalam bukunya, Prof Padmo mengakui bahwa sistem pendidikan bedah saraf di Belanda lebih baik daripada Indonesia. Di sana, pendidiknya cukup baik dalam segi jumlah berikut pengalamannya. Variasi penyakit yang ditangani juga cukup banyak. Fasilitas penunjang, baik untuk diagnosis maupun operasi sangat lengkap. Belum lagi ditambah dengan tersedianya fasilitas perpustakaan yang lengkap, disertai kesediaan petugas perpustakaan untuk mencarikan buku-buku tanpa biaya dan selalu cepat.
Bahkan, saat Prof padmo mengadakan penelitian, semua biaya ditanggung oleh Universiteit Groningen, baik pengadaan literatur, maupun percobaan binatang dan pemeriksaan yang lain seperti pemeriksaan radioisotop, mikroskop elektron, dan radiologi. Semua percobaan binatang dilakukan di gedung yang dibuat khusus untuk percobaan binatang. Gedung itu cukup besar, berukuran 40 meter x 20 meter, terdiri dari delapan lantai, lengkap dengan gudang, fasilitas pemasok binatang dan makanan binatang.
Di RS Groningen, Prof Padmo mempelajari banyak teknik operasi dari guru yang berbeda-beda. Ambil contoh Dr. Van Manen yang mengajar tentang teknik operasi baru untuk pasien Parkinson yang bernama operasi stereotaktik. Ada pula Prof. Laurenz Penning yang mengajar tentang pemeriksaan neuroradiologi. Malahan belakangan Dr Van Manen melengkapi Prof Padmo dengan alat operasi stereotaktik lengkap disertai atlas stereotaktik dari otak, untuk dapat digunakan di Indonesia.
Dari Groningen, Prof Padmo pernah juga ditugaskan ke Tilburg yang notabene peralatannya kurang lengkap, mirip dengan kondisi di Indonesia. Tapi menurut beliau, itu malah bagus untuk mematangkan kemampuan, sehingga ilmunya bisa langsung diterapkan di Indonesia sepulangnya dari Belanda.
Jalan-Jalan Di Sela-Sela Studi
Untuk menghindari kejenuhan, ada kalanya Prof Padmo jalan-jalan ke sekitar Groningen dengan mobil pribadi. Ada tiga provinsi yang bisa dituju untuk mengenal sejarah, geologi, keindahan alam sampai flora dan fauna, yaitu Friesland, Drenthe dan Groningen sendiri. Di Provinsi Groningen Selatan dan Provinsi Drenthe terdapat situs prasejarah yang merupakan tempat meletakkan jenazah penduduk jaman batu, yaitu suku bangsa Batavieren. Berupa tumpukan batu-batu besar yang berongga, yang disebut Hunebedden.
Dalam bukunya, Prof Padmo berkisah bahwa Provinsi Friesland dan Groningen aslinya adalah daerah rawa-rawa dan sebagian adalah laut. Proses reklamasi menghasilkan tanah yang dapat ditinggali bahkan dijadikan tanah pertanian dan hutan. Daerah yang hasil reklamasi ini umumnya memiliki ketinggian sama dengan permukaan air laut, bahkan banyak yang di bawah permukaan laut; daerah inilah yang disebut polder.
Pada musim semi, perjalanan ke arah selatan tepatnya di sisi barat Belanda, juga menyenangkan, terutama setelah melihat keindahan taman Keukenhof yang dipenuhi tulip, hyacinth maupun narcissen.
Jadi, mungkinkah saya menempuh studi ke Belanda suatu saat nanti?
…
Ah, sepertinya saya salah makan pagi ini.
“Kayapa kutu kupret nangkaya ulun kawa batulakan ka Belanda??” (bahasa Banjar); “Mosok wong ndeso koyo aku iso lungo nyang Londo??” (bahasa Jawa); “Masak orang desa seperti saya bisa pergi ke Belanda??” (bahasa Indonesia); “Impossible!” (bahasa Inggris).