Quote




Be thankful for what you have; you'll end up having more. If you concentrate on what you don't have, you will never, ever have enough.

~ Oprah Winfrey

Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Desember 2009

Lahirnya Si Bocah Senin Wage

Mengawali chapter 29: Sang Pemimpi, maka aku beberkan sedikit tentang kelahiranku. Orang yang pertama kali kecewa menyaksikan kelahiranku tidak lain adalah ibuku sendiri. Ibu kecewa, karena aku lahir dengan kulit hitam, menuruni warna kulit bapakku.

Aku lahir pada hari Senin Wage, 20 September 1982 bertepatan dengan 1 Besar 1914 Tahun JIMAKIR Windu KUNTARA, atau dalam kalender Hijriyah 1 Zulhijah 1402 H. Neptu-ku berjumlah 8, yang berasal dari penjumlahan Senin (4) dan Wage (4). Wuku JULUNGWANGI, Pangarasan Lakuning Geni, Pancasuda Wasesa Segara, Dina Kuda, Lintang 12 Lintang Akrab (Arab), Pranotomongso KAPAT (19 September - 13 Oktober) dan memiliki Bintang VIRGO (22 Agustus - 22 September).

Sifat-sifat yang sangat menonjol, menurut horoskop Jawa, antara lain dermawan, tidak pelit, suka memberi/beramal, pemurah, ramah, sopan, mudah tersinggung/emosi, peka perasaannya, dan seorang yang pintar.

Sifat-sifat yang lain, masih menurut horoskop Jawa, antara lain disukai/disenangi kawan (banyak orang menyukai/mengasihi), serta banyak teman dan sahabatnya, jujur, terbuka, terus terang, suka menolong / membantu, mudah dimintai bantuan, ringan tangan, pemarah, mudah naik darah, kalau marah berbahaya, suka merusak ataupun susah redanya, mudah kalap, berbudi luhur, luas budinya, cakap, tangkas, terampil, baik hati, mulia, kesucian, pengasih (walaupun kadang-kadang mempunyai sifat kurang mempunyai rasa asih, tak mau kalah & dikalahkan, ingin menangnya sendiri, selalu ingin dikasih lebih, suka kebersihan, suka keindahan, disayang/disenangi atasan/pembesar, bukan tipe pendiam (banyak tingkah), cerewet & banyak bicara, pemaaf, mudah melupakan peristiwa yang menyakitkan hati, berwibawa/punya kepribadian yang berpengaruh, banyak orang yang segan/hormat, bertanggungjawab, mudah terpengaruh/tergoda/terbawa suasana, dan angkuh.

Sifat mudah tersinggung/emosi didapat dari Pangarasan. Pangarasan adalah penggolongan sifat manusia berdasarkan urip, saptawara dan pancawara. Urip, juga disebut dengan neptu. Di beberapa tempat di Jawa, sebutan neptu otomatis sudah merupakan jumlah dari urip saptawara dan urip pancawara. Saptawara adalah tujuh hari dalam seminggu, yaitu Minggu (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7), Kamis (8), Jum’at (6), dan Sabtu (9). Sedangkan Pancawara adalah hari pasaran, yaitu Legi (5), Paing (9), Pon (7), Wage (4) dan Kliwon (8). Lakuning Geni dalam Pangarasan sifatnya api, artinya temperamental, mudah marah dan naik pitam.

Sedangkan sifat pemurah didapat dari Pancasuda. Pancasuda atau pawisesan adalah penggolongan sifat manusia yang dihitung dari angka-angka khusus yang diberikan kepada saptawara dan pancawara. Wasesa segara artinya pemurah, pemaaf, berwibawa dan bertanggung jawab.


Wuku Julungwangi

Julungwangi (kiri) menghadap Batara Sambu yang memegang umbul-umbul dan
menyanding Jembangan. Burung Kutilang terbang di atas pohon Cempaka.

Ciri-ciri wuku Julungwangi adalah sebagai berikut (lihat pada gambar). Dewa yang menaungi wuku Julungwangi adalah Batara Sambu. Banyak orang suka atas pembawaannya, sehingga orang yang berada di bawah naungan wuku Julungwangi umumnya gampang memperoleh rezeki. Kayunya adalah pohon Cempaka, perwatakannya mempunyai kelebihan dalam hal daya tarik. Burungnya adalah burung Kutilang, wataknya micara, banyak bicara. Menghadap jembangan, wataknya rela atas pemberian dengan harapan supaya tercapai kehendaknya. Membawa umbul-umbul, wataknya dekat dengan kemuliaan dan disegani oleh orang besar.

Rabu, 28 Januari 2009

“Ikam handak PTT kah?”*

Amun ikam handak manjadi dokter PTT di luar Jawa, kadada salahnya pang pabila ikam maambil pilihan di Kalimantan. Menurut ulun, Kalimantan itu banua PTT nang pamaraknya matan Jawa, ayuja matan sagi jarak maupun ciri warganya. Banjarmasin kawa dilalui dalam waktu satu jam aja matan Surabaya lawan kapal terbang. Haraga karcisnya sakitar 300-400 ribu aja. Jakanya ikam handak tulak ka Jawa waktu hari raya Idul Fitri maupun Natal pastinya kada mahabisakan banyak duit gasan ongkos parjalanan. Iya kalo?

Ciri warganya ulun katakan parak lawan Jawa lantaran banyak jua pang urang Jawa di Kalimantan. Kabanyakan matan babuhannya bajualan. Tapi ada jua nang bahuma, tarutama nang bagana di kampung transmigrasi, nang kaya di Terusan Tengah ini nah. Bubuhan matan suku Banjar lawan suku Dayak rupanya cukup welcome lawan kadatangan urang perantau.

Obyek wisata, wadai, batik (batik Kalteng, batik Kaltim, Sasirangan) lawan bamacam-macam kerajinan tangan banyak jua. Musibah alam pun terbilang jarang pang, paling-paling banjir. Lindu lawan gunung malatus kada suah terjadi di Kalimantan. Jadi, kenapa ikam kada PTT dokter di Kalimantan aja?

***

Sudah hampir satu tahun saya menjejakkan kaki di Kalimantan, tepatnya semenjak 1 April 2008 yang lalu, dalam rangka menjalankan tugas dari bu Menteri Kesehatan sebagai dokter PTT untuk daerah terpencil. Semenjak itu pula saya mulai bergaul dengan orang-orang Kalimantan dan mengenal salah satu bahasa di dunia yang menurut saya menarik untuk disimak: bahasa Banjar. Pun saya katakan menarik, tapi tetap saja saya susah untuk mempelajarinya. Untuk membuat cerita tiga alinea di atas saja saya butuh waktu dua hari, itu pun belum tentu betul!

Berbagai usaha pun saya tempuh. Mulai dari membeli buku Kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala terbitan Departemen Pendidikan Nasional-Balai Bahasa Banjarmasin, sampai membeli setumpuk koran berbahasa Banjar. Berharap bisa berbahasa Banjar dengan metode ‘practice make perfect’ maksudnya.

Ada juga ‘Festival Bakisah’ yang ditayangkan sebuah stasiun televisi setempat. Di acara itu setiap orang diberi kesempatan untuk bercerita tentang pengalaman hidupnya yang unik, lagi-lagi dengan bahasa Banjar. Orang Banjar, dengan kelebihan dan kekurangannya, memang dilahirkan untuk mahir bercerita.

Di tempat kerja saya (Puskesmas Terusan Tengah, Kapuas) pun, bahasa yang dipakai sehari-harinya adalah bahasa Banjar juga. Yang paling kentara bahasa Banjarnya adalah bu Jurah lawan Rohana. Jika sampai mereka berdua bercerita, saya sampai melongo. Melongo karena tidak paham maksudnya. Tapi kalau mereka tertawa saya juga ikut tertawa, pura-puranya paham, padahal tidak tahu.

Ada beberapa kosa kata memang, yang mirip dengan bahasa Indonesia yang baku. Misalnya ‘handak’ artinya hendak atau ‘bulik’ artinya balik. Tapi secara umum, bahasa Banjar boros penggunaan huruf vokal ‘a’. Misalnya ‘talanjur’ artinya terlanjur, ‘talantar’ artinya terlantar, ‘bagabung’ artinya bergabung atau ‘bapikir’ artinya berpikir.

Kosakata di bidang kesehatan pun beberapa harus dimengerti oleh dokter dari luar Kalimantan. Misalnya ‘salesmaan’ yang artinya pilek, ‘bakamih’ artinya kencing, ‘kada kawa guring’ artinya tidak bisa tidur, ‘garing’ artinya sakit, dan ‘hanyut’ yang artinya pusing. Jadi, kalau ada pasien bilang “Kepala bini ulun hanyut” jangan buru-buru pergi ke sungai untuk mencari kepala yang terbawa arus sungai. Kepala masih ada di tempatnya kok, hanya saja sedikit pusing. Iya kalo?

* Posting ini diikutkan dalam Posting Contest Aruh Blogger '09, Kalimantan Selatan. Mohon dukungan dan doa restunya. :)

** Foto: "Berobat di Atas Jukung"

Senin, 01 September 2008

Bahasanya Orang Kalimantan


Jika saya berkata:
“Saya dokter Jawa. Suka makan makanan enak. Sedikit pemalas alias tukang tidur. Suka jalan-jalan, terutama dengan wanita cantik. Sekarang sedang PTT di Puskesmas Terusan Tengah”

Maka bahasa Banjar berkata:
“ Ulun dokter Jawa. Ketuju makan makanan nang nyaman. Sedikit pengoler, kadang-kadang ketuju guring. Ketuju bejalanan lawan bebinian nang bungas. Wahini ulun PTT di Puskesmas Terusan Tengah”

Dan bahasa Dayak Kapuas pun akan berkata:
“Aku dokter Jawa. Aku handak kuman ije mangat, kadang-kadang panguler. Batiruh tarus, hanjak bila imbit mananjung apalagi mimbit bawi hahalap. Wahayah tuh PTT kang Puskesmas Terusan Tengah”

Ada lima bahasa di Terusan Tengah: bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Banjar, bahasa Dayak dan Bahasa Bali. Bahasa Jawa sendiri masih bisa dibagi lagi menjadi beberapa varian misalnya bahasa Jawa Timur-an yang cenderung kasar dan bahasa Cilacap-an yang ngapak-nya bukan buatan. Bahasa Dayak pun sebenarnya memiliki beberapa varian: yang saya ketahui dari sekian banyak adalah Dayak Kapuas dan Dayak Manyan. Sejujurnya, di antara kelima bahasa itu Bahasa Banjar lah yang menurut saya paling menarik.

Bukan karena cewek Banjar lebih cantik daripada cewek Dayak, keduanya sama-sama cantik kok. Tapi saya lebih paham orang bicara dengan bahasa Banjar daripada bahasa Dayak, meskipun ada beberapa kata yang sampai sekarang pun masih belum juga saya mengerti.

Kalimat favorit saya:

“Ulun handak guring” artinya saya hendak tidur.

“Nyaman banar” artinya enak benar.

Bukan kah tidur dan makan juga favorit saya…hehe…

Setelah diuji coba berulang kali, ternyata bahasa Banjar kurang cocok dengan lidah saya. Bila saya bicara dengan bahasa Banjar, itu bisa diumpamakan anak umur lima tahun membaca sila-sila dalam Pancasila. Secara ejaan mungkin benar, tapi terdengar aneh. Dua puluh lima tahun tahun saya bergumul dengan orang-orang Jawa membuat saya terlihat kaku bila menggunakan bahasa selain Jawa.

Bahasa Dayak apalagi. Seandainya Bu Lina, tetangga sebelah saya, bercakap-cakap dengan Pak Mamad suaminya dan sedang mengejek saya dengan bahasa Dayak-nya padahal saya ada di depan mereka, saya jamin saya tidak akan tersinggung. Bahasanya mirip bahasa burung, mengejanya pun saya tak sanggup.

“Ulun kadak bisa bahasa Dayak”.

Jumat, 07 Maret 2008

Budaya Jawa yang Arif


Yen pesthine mesthi kelakon
Siapa sangka Petruk bisa menjadi ratu?

Wong Jawa ojo ninggalne Jawane”. Begitulah pesan Ibu saya beberapa waktu lalu. Suatu pesan yang mengisyaratkan bahwa tidak sepantasnya saya mengabaikan budaya dimana saya dibesarkan. Ayah dan Ibu saya adalah orang Jawa asli. Mereka lahir di daerah pedesaan Sukoharjo, Jawa Tengah.

Ibu saya sebenarnya ingin sekali anak-anaknya memahami budaya ini. Setiap kali ada peristiwa yang menimpa seseorang atau anggota keluarga kami, entah menyangkut rezeki, jodoh atau musibah, Ibu selalu mengaitkannya dengan hitungan Jawa atau bahkan mimpi yang pernah dialaminya.

Saya tidak menganggap hal ini sebagai suatu bentuk kepercayaan tertentu. Yang saya tangkap adalah, Ibu mencoba mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukan suatu kebetulan. Setiap takdir ada pertanda yang mengawalinya (bagi yang sudah membaca The Alchemist karya Paulo Coelho tentu paham akan hal ini). Mimpi seseorang bukan hanya sekedar bunga tidur, tapi bisa jadi itu merupakan suatu pertanda akan terjadinya suatu peristiwa. Termasuk hari kelahiran, weton hingga golongan darah, tentu ada maknyanya. Kita hanya harus lebih peka mengenali pertanda-pertanda ini.

Budaya Jawa memang tidak sembarangan, sangat penuh dengan perhitungan, Konon, almarhum Presiden Soeharto pun juga menggunakan budaya Jawa sebagai referensi dalam menjalankan pemerintahannya (Suara Merdeka, 3 Februari 2008). Tak ada faktor kebetulan bagi Pak Harto dalam meraih kekuasaan. Semua sudah dirancang, semisal bowo leksono narendra gung binethara ing bahu dinda hanyakrawati berbudi bowo leksono. Satu ucapan harus jalan, tidak ada diskusi, tidak ada bantahan. Raja besar ibarat dewa yang memegang hukum, menguasai dunia.


"Cool"

Beberapa waktu yang lalu saya membaca blog teman saya yang menyimpulkan bahwa orang Italia hidup secara santai. Orang Jawa menurut saya, malah lebih nyantai lagi. Hidup samadya (sedang, sewajarnya) dan tidak tampak ngaya (terlalu memaksa diri) adalah contoh perilaku nyantai itu. Hampir semua persoalan hidup dikaitkan dengan kekuatan Yang Maha Tinggi, yakni Tuhan sebagai penentu kehidupan seseorang.

Istilahnya narimo ing pandum, menerima, karena memang tidak ada daya dan kekuatan untuk menghindari takdir Tuhan. Semua harus diterima didasarkan pada keyakinan bahwa manungsa sadrema nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani) dan Gusti kang wenang nemtokake (Tuhan yang berwenang menentukan). Rika lamun ketaman, ora getun lamun kelangan (ikhlas jika tertimpa musibah, tidak menyesal jika kehilangan). Karena segala yang ada pada seseorang (anak, istri, harta, kenikmatan, kesehatan, kebahagiaan, kepandaian dan apa pun juga), hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa.

Bacaan:
Gusti Ora Sare : 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa karya Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto. Diterbitkan oleh Adi Wacana, Yogyakarta tahun 2005.

Recent Comments