Quote




Be thankful for what you have; you'll end up having more. If you concentrate on what you don't have, you will never, ever have enough.

~ Oprah Winfrey

Tampilkan postingan dengan label Jalan - Jalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jalan - Jalan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Oktober 2010

Weekend ke Batu, Malang

Padatnya rutinitas dan jadwal kerja yang tak tentu membuat saya dan istri jarang memiliki hari libur yang cukup untuk bepergian keluar kota. Jadi, bila kebetulan kami memiliki jadwal libur yang sama, itu lah saatnya kami refreshing keluar kota. Kali ini kami memutuskan untuk plesir ke kawasan wisata di daerah Batu, Malang. Sebelumnya kami pernah ke Jatim Park 1, tapi tidak menginap.

Berangkat dari Surabaya jam 09.00 dengan naik sepeda motor, dan sampai di daerah Batu sekitar jam 12.00. Udara dingin nan segar khas pegunungan langsung terasa begitu memasuki kawasan ini. Kami pun langsung mencari penginapan, karena rencananya kami menginap satu malam.

Mencari penginapan tidaklah sulit, apalagi kalau kita berboncengan dengan pasangan kita. Begitu masuk ke kawasan wisata Songgoriti, para penduduk setempat yang umumnya bersepeda motor di sepanjang jalan, menawarkan tempat menginap. Kami langsung menuju ke Hotel Arumdalu, berdasar rekomendasi dari mertua. Sayang, hotel sudah penuh, mungkin karena weekend. Kami pun mencari-cari hotel lain.

Sempat check-in ke sebuah penginapan, tapi kami langsung membatalkan. Bukannya apa-apa, saya pribadi agak was-was menginap di penginapan yang sepi. Akhirnya kami berpindah ke hotel yang cukup ramai, yaitu Hotel Air Panas Songgoriti. Kamar hotel termurah tarifnya 150 ribu perhari, sudah termasuk sarapan pagi untuk dua orang dan voucher renang. Kamar saat itu habis dipakai dan baru bisa check ini jam 14.00.

Lebih ke atas dari Songgoriti ada sebuah tempat bernama Payung. Jalan ke sana menanjak dan berkelok-kelok. Dari Payung ini kita bisa melihat kawasan Songgoriti berupa lembah yang dipenuhi dengan bangunan villa dan hotel, diapit oleh beberapa gunung. Banyak warung yang bisa kita pilih. Kami mampir di warung dan memesan sate kelinci dan nasi goreng. Harga sate kelinci 21 ribu rupiah per porsi.

Sore hari, sangat pas untuk berwisata ke BNS (Batu Nigt Spectaculer), yang memang buka sore hingga malam hari. Tempat ini mirip dengan pasar malam dengan wahana-wahana yang siap memacu adrenalin. Jangan lewatkan Cinema 4D, karena film roller coasternya sanggup membuat para pengunjung berteriak histeris. Para pecinta fotografi pun bisa mendapatkan gambar-gambar yang bagus dengan teknik slow shutter speed.


Untuk makan malam, di BNS terdapat food court. Metode pembayarannya agak unik. Sebelum memesan makanan, kita pergi ke kasir dulu untuk membeli voucher berupa kartu gesek. Selanjutnya, saat memesan makanan voucher ini dipakai untuk membayar. Bila sisa, voucher ini bisa diuangkan kembali. Kebetulan, saat kami sedang menikmati makan malam, diadakan pertunjukan air mancur dan laser, dengan diiringi lagu yang sedang hits, "Cinta Satu Malam". Kontan saja banyak orang yang bergegas mendekati dan mengabadikan momen istimewa tersebut.

Esok harinya, kami berniat untuk mengunjungi Jatim Park 2 sebelum meninggalkan Malang. Venue ini terdiri atas kebun binatang dan museum satwa. Jadi memang berbeda dengan Jatim Park 1 yang lebih banyak bertemakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harga tiket masuknya 50 ribu per orang.

Dengan penataan mirip labirin, jarak yang harus kami tempuh untuk mengelilingi kebun binatang ini menjadi sangat panjang. Tapi tenang saja, di tengah-tengah rute kita akan menjumpai restoran yang menyajikan aneka makanan dan minuman. Tanpa diduga, hujan deras pun turun, yang membuat kami tidak bisa berlama-lama mengamati berbagai binatang di sana.

Rabu, 01 September 2010

Sahur bersama Gudeg Ceker Margoyudan

Di Terminal Bus Tirtonadi, waktu menunjukkan jam 2 pagi, istriku baru saja turun dari bus yang mengantarnya dari Surabaya. Sudah kucegah sebenarnya, supaya jangan pergi malam-malam. Apa daya, istri nekat saja. Karena bulan puasa, dan kebetulan istri sedang tidak berhalangan, maka kami berinisiatif membeli nasi untuk sahur.

Warung yang masih buka saat itu, yang kutahu, salah satunya adalah Gudeg Ceker Margoyudan. Lokasinya dari Terminal Bus Tirtonadi tak terlalu jauh, tepatnya di Jalan Wolter Monginsidi, atau kalau dari Stasiun Balapan sekitar 1 km menuju ke arah Panggung, di kiri jalan. Konon kabarnya, warung ini tiap harinya buka jam 01.30, pun di luar bulan puasa.

Dari kejauhan sudah tampak ramainya. Dalam warung yang dilingkupi terpal itu nampak seorang ibu tua dikerumuni oleh beberapa pembeli yang nampak tidak sabaran. Ada yang minta dibungkus, tapi banyak juga yang langsung makan di tempat. Ibu tua itu, adalah sang peramu gudeg, yang kalau tidak salah bernama Bu Kasno. Tangannya dengan lincah mengambil gudeg dan mencomot ceker sesuka hati. Wajahnya acuh saja, tak peduli dengan pelanggannya yang minta dilayani lebih dulu. Ceker-ceker itu diambil langsung dengan tangan kosong, tanpa alat bantu. Barangkali sentuhan dari Bu Kasno itulah, selain dari takaran gudeg dan nasi yang terukur tentu saja, yang menjadikan gudeg ini nikmat tak terperi.

Aku sendiri memesan empat bungkus, dua untukku dan dua lagi untuk istriku. Sebungkus rasanya belum cukup untuk mengganjal perut rakus ini. Dilihat dari cara Bu Kasno melayani pembeli, tampaknya ia mempunyai seorang ‘tangan kanan’, yang berada di sebelah kirinya. Belakangan aku tahu namanya Aris. Tugas Aris adalah menjadi jubir sekaligus kasir. Jadi, bila ingin cepat dilayani, dekatilah Aris ini.

Gudeg Ceker ini beda dengan gudeg yang kutemui di Malioboro Jogja. Kalau Gudeg Jogja, lauknya irisan telur rebus dan suwiran daging ayam saja, tanpa cakar ayam. Cakar ayam olahan Bu Kasno ini sangat lunak, sehingga tinggal menyesap saja sudah terpisah antara kulit dan tulangnya. Di sinilah sensasi yang dicari pembeli hingga rela mengantri. Belum lagi bila ditambah dengan nikmatnya gudeg. Hanamasa rasanya tinggal kenangan.

Rabu, 21 Juli 2010

Raditya Dika di Solo

Seorang lelaki berperawakan pendek,mungkin cuma sebahuku,berkulit putih dan berwajah imut berjalan di depanku. Di belakangnya tampak beberapa orang,yang memakai seragam hitam,tergopoh-gopoh mengikutinya.Orang itu,adalah Raditya Dika,seorang penulis novel yang cukup laris.Salah satu novel yang kupunyai adalah Kambing Jantan.Novel,yang kemudian menjadi salah satu inspirasiku,untuk menulis pengalaman pribadi di blogku yang sederhana ini.

Aku bukan lah penggemar Raditya Dika,setidaknya itu bisa dilihat dari koleksi buku karyanya yang tidak semuanya aku beli.Novel Kambing Jantan pun-maaf kata,tidak selesai kubaca.Bukan karena jelek,tapi mungkin tidak selera saja.Seperti halnya pecinta musik dangdut yang tak terlalu suka musik rock.Atau pecinta baked beef lasagna yang tak terlalu suka singkong rebus.Atau bahkan,pecinta burung yang tak terlalu suka mendaki gunung.Ah sudahlah.

Tapi,aku respek pada Raditya Dika karena telah mampu menulis dengan baik,dan membuat beberapa penggemarnya,yang jumlahnya tak sedikit, jatuh hati.Mereka rela datang ke acara talkshow yang diselenggarakan di sebuah toko buku di Solo,dengan antusiasme yang tinggi.Aku sendiri,datang dari Wonogiri,yang jaraknya tak kurang dari 30 kilometer,berpanas-panas pula,karena datang naik sepeda motor tengah hari.Semua itu kulakukan demi satu hal: riset!Keren benar.

Aku ingin belajar,bagaimana dia bisa menulis seperti itu,apa saja kiat-kiatnya.Barangkali,setelah ikut acara talkshow itu,aku bisa menulis cerita dengan lebih mengalir,dan tentunya menarik.Dan sepintas lalu,kulihat mereka yang berdatangan,mayoritas adalah remaja putri.Hal ini bertolak belakang dengan peserta acara talkshow yang diselenggarakan di tempat yang sama,beberapa minggu sebelumnya,yang temanya tentang mainan bernama rubik.

Rupanya,telah ada semacam pembagian segmen pasar dalam hal ini: remaja putri senang membaca buku,terutama yang bersangkut paut dengan urusan cinta dan tetek bengeknya,sedangkan remaja putera lebih tertarik dengan mainan yang mengandalkan ketrampilan dengan rumus-rumus tertentu.Jadi,tidaklah mengherankan, jika SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas),lebih didominasi kaum hawa.Karena didalamnya ada pelajaran berkenaan dengan buku,utamanya buku akuntansi,yang didalamnya ada debit-kreditnya itu.Dan STM (Sekolah Teknologi Menengah),didominasi kaum adam.Tak lain karena minat remaja putera yang tinggi dalam mengutak-atik mesin dan peralatan elektronik termasuk resistor,transistor dan kondensator.

Suara Raditya Dika dalam acara itu kurang jelas,mungkin karena pengeras suara yang kurang prima,atau mungkin karena kupingku yang harus segera diperiksakan ke dokter THT.Tapi ada dua hal yang kutangkap.Pertama,saat dia menjelaskan,beda pria dan wanita dalam hal putus cinta.Wanita,lebih mudah memutuskan pasangannya,dibanding pria.Tanpa banyak cingcong,wanita bisa memutuskan pacarnya lewat telepon,dan pria yang malang itu,mau tidak mau harus menerima kenyataan hidupnya.Lain halnya dengan pria,yang hendak memutus pacarnya,pasti susah dan bertele-tele.Belum lagi kalau wanitanya mewek-mewek dan tak mau diputus.Aih.

Kedua,tentang permainan psikologis saat naik mobil berdua dengan pacar,saat kondisi bertengkar.Wanita bilang "turunkan aku di sini".Pria diam saja.Wanita bilang "turunkan aku di sini!!! (dengan tiga tanda seru)" berulang-ulang,tapi sang pria tetap menyetir mobilnya dan berkata "udahlah sayang..jangan ngambek begitu..",dengan wajah memohon.Tapi wanita berkehendak lain "kalau tidak nurunin aku di sini,aku bakalan lompat".Pria menyerah, "oke oke..tunggu sebentar..baiklah kamu kuturunkan di sini".Mobil pun menepi dan kemudian berhenti,dan pria itu lalu berkata "silakan turun".Wanita menangis dan berkata "kok kamu tega sih nurunin aku di sini".

Tentang teori putus-memutus ala Raditya Dika itu dan tentang sikap dilematis dalam mengahadapi wanita itu,aku tak mengatakan itu benar atau salah.Tapi sepertinya dia sudah mengadakan riset mengenai hal tersebut,dan mungkin juga,ditambah dengan pengalaman pribadinya.

Dan karena suara yang tak jelas tadi,aku mengalihkan perhatian pada seorang lelaki yang ada persis di sampingku.Dia sepertinya adalah seorang fotografer.Berkali-kali dia menjepret dengan kamera DSLR-nya,tapi kuintip hasilnya di layar LCD,tidak bagus-bagus amat.Aku pun juga bisa kalau hasilnya standar seperti itu.Dari caranya mengambil posisi saja sudah salah.Harusnya,dia ambil posisi di depan dan bukannya di belakang,jadi obyek utamanya bisa terlihat langsung.

Fotografer itu memakai modus manual. Waktu dia memakai kecepatan rana tinggi,obyeknya jelas,tapi gambarnya jadi gelap.Begitu kecepatan rana diturunkan,gambarnya terang,tapi obyek jadi kurang tajam.Begitu gambarnya terang dan jelas,di depannya tiba-tiba ada kepala penonton yang nongol.Rasakan itu.

Minggu, 20 Desember 2009

Taman Safari Indonesia II, Prigen - Pasuruan

Barangkali, yang membuatku tertarik untuk berkunjung ke Taman Safari adalah stikernya. Kawan tentu pernah melihat, stiker berbentuk hewan, entah itu gajah atau kijang, berwarna kuning yang bertuliskan Taman Safari Indonesia, yang biasanya ditempel di kaca belakang mobil. Kupikir, Taman Safari yang dimaksud hanya bisa dijumpai di Jawa Barat saja, ternyata tak jauh dari Surabaya ada juga, tepatnya di Prigen, Pasuruan.

Bila ditempuh dari Surabaya dengan mobil maka akan memakan waktu sekitar 1,5 jam melalui jalan Surabaya-Malang. Dari jalan raya, lokasinya masih lumayan jauh, dan jalannya juga menanjak. Di sepanjang jalan, banyak yang berjualan buah nangka dan pisang. Harganya juga sangat murah.

Taman Safari hawanya sejuk, mungkin karena terletak di dataran tinggi. Banyak tumbuh pohon pinus di sini. Saat masuk, maka Anda akan melewati pintu gerbang tempat menjual tiket. Harga tiketnya 40 ribu untuk dewasa dan 35 ribu untuk anak-anak di bawah 5 tahun. Anda akan mendapatkan sebuah peta yang mendeskripsikan lokasi Taman Safari secara keseluruhan.

Safari Adventure terdiri atas tiga kawasan dengan hewan-hewan yang berkeliaran bebas di sana-sini. Kawasan pertama yaitu Amerika-Eropa, yang didalamnya terdapat Llama, Bison, Kalkun, Maned Wolf, Elk, Beruang Coklat, Harimau Benggala, dan Singa. Yang paling berani mendekati mobil namanya Llama. Llama (Lama glama) adalah binatang camelid yang juga binatang asli Amerika Selatan. Llama juga biasa digunakan sebagai binatang pengangkut barang oleh masyarakat Inka dan masyarakat di sekitar pegununungan Andes. Bila mendekati kaca mobil tak jarang menampakkan giginya yang besar-besar, kadang juga ingusnya menetes di kaca mobil.

Kawasan berikutnya yaitu Asia, tempat Anda bisa menjumpai Siamang, Beruang Madu dan Kasuari. Yang paling ribut tentunya Siamang. Memang sudah tabiatnya, sewaktu terdapat bahaya, siamang betina akan mengeluarkan suara yang nyaring “gwuk..gwuk..gwuk..gwuk..” dan diikuti oleh siamang jantan selama tiga hingga lima belas menit. Siamang ini juga mahir dalam bergelayutan di pohon-pohon.

Kawasan terakhir yaitu kawasan Afrika, yang di dalamnya terdapat Zebra, Kambing Gunung, Eland, Onta, Kuda Nil, Ostrich (Burung Unta), Watusi, Pelikan, Jerapah dan Crown Crane. Eland adalah antelop yang hidup di padang rumput Afrika. Ciri khasnya adalah tanduknya yang lurus dan berpilin. Sedangkan Watusi adalah ternak dari Afrika yang bentuknya mirip sapi tapi tanduknya sangat besar. Konon ada yang mencapai 1,8 meter! Dan sebelum keluar dari kawasan ini Anda akan menjumpai Crown Crane, burung yang cantik dari Afrika. Kepalanya mempunyai suatu mahkota berupa bulu kaku keemasan, sedangkan sisi wajahnya berwarna putih.

Selain Safari Adventure, ada juga Baby Zoo dan Recreation Area yang menawarkan bermacam-macam fasilitas permainan untuk segala usia. Juga ada pertunjukan hewan yang bisa dinikmati secara cuma-cuma.


Minggu, 06 Desember 2009

Jalan-Jalan ke Solo

Hari minggu yang lalu, aku mendapatkan kesempatan langka: mengajak jalan-jalan dua cewek sekaligus!Ihiy.Niatnya hanya mengajak satu cewek,tapi kasihan melihat teman cewek satunya ‘nganggur’, jadilah kuajak keduanya. Istilah kasarnya, beli satu dapat dua! Hebat benar boi.

Meski badan capek, tetapi the walking-walking must go on. Tujuan pertama Timlo Sastro. Lokasinya dekat dengan Pasar Gede Solo. Dapat referensi warung ini dari internet. Sebenarnya, hari sebelumnya aku sudah menyambanginya. Tapi saat itu warung sudah tutup. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, aku pun mendatanginya lebih awal. Ramai sekali warung itu. Warung yang ramai punya tiga kemungkinan. Pertama, masakannya enak. Kedua, harganya murah. Atau ketiga, penjualnya Britney Spears!


“Bedanya nasi timlo dengan timlo komplit apa pak?”, tanyaku pada penjual sebelum memesan makanan.

“Kalo timlo komplit ada telurnya, ada ….”, kalimat selanjutnya aku tidak terlalu mendengar karena suara dalam warung yang riuh.

Aku akhirnya memesan timlo komplit dua porsi dan nasi timlo satu porsi. Harga timlo komplit 12.000 rupiah. Antara kuah dan nasi, pada timlo komplit, disendirikan. Lalu, ada juga es kuas. Rasanya mirip Madurasa-nya Air mancur, yaitu madu dengan rasa jeruk nipis. Kurang lebih seperti itu, kalau lidahku tidak salah baca.


Setelah kenyang, kuajak kedua gadis tadi blusukan ke Pasar Gede untuk mencicipi yang namanya es dawet. Akhirnya ketemu dengan warung dawet selasih Bu Watik. Mangkok yang dipakai adalah mangkok kecil, seukuran dengan mangkok yang dipakai penjual wedang ronde. Komposisinya (seperti bisa dilihat di gambar): ada bubur sumsumnya, ada ketan irengnya, ada cendolnya, ada santennya dan tentu saja, ada selasihnya. Kawan, apakah itu selasih? Selasih itu adalah biji buah kemangi. Bentuknya bulat-bulat kecil menggemaskan.

Tujuan berikutnya adalah Pusat Grosir Solo. Di sini tempatnya membeli baju, terutama batik, dengan harga terjangkau. Batik bisa juga dijumpai di Pasar Klewer. Dari Pasar Gede, kedua tempat ini cukup dekat, jadi bisa ditempuh dengan jalan kaki. Dengan energi yang didapat dari Timlo Sastro dan Dawet Selasih, kedua gadis pun berjalan dengan bermandikan teriknya mentari.


Jika ingin sholat, masjid yang relatif dekat ada di sebelah barat Alun-Alun Utara, yaitu Masjid Agung Surakarta. Dari Pusat Grosir Solo ke masjid suasananya relatif teduh, karena di sepanjang jalan terdapat beberapa pohon beringin besar yang menaungi. Nah, tepat di sebelah selatan masjid itu lah letak Pasar Klewer. Selain batik, ada juga penjual oleh-oleh makanan kecil di sini, macam intip, jenang dodol maupun brem.

Kiranya itu dulu jalan-jalan di Solo kali ini. Semoga bisa bermanfaat bagi panjenengan semua. Nuwun.

Jumat, 09 Oktober 2009

Sholat Jum’at di Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Banjarmasin


Seperti masuk ke masjid-masjid lainnya di seluruh dunia, kesan pertama saat masuk masjid adalah sejuk. Lantai, dinding dan tiang yang terbuat dari batu pualam krem muda benar-benar membuat atmosfir masjid ini sangat nyaman untuk berlindung dari terik matahari yang panas menyengat. Orang lemah iman sepertiku tentu berpikir bahwa suasana seperti ini sangat cocok untuk tidur siang. Amboi, semilir anginnya bertiup sepoi-sepoi.

Di dalamnya tidak kurang tertulis 99 Asmaul Husna yang terpahat rapi pada dasar kubah. Ada juga kaligrafi di dinding masjid yang konon terbuat dari tembaga. Salah satunya adalah petikan dari Al Qur’an surat Ali Imron ayat 102. Kawan tentu sudah sering mendengarnya saat sholat Jum’at: ‘yaa ayyuhalladziina aamanuttaqullooha haqqo tuqootihii walaa tamuutunna illaa wa antummuslimuun’, yang artinya kurang lebih ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam’.

Masjid ini terdiri atas dua lantai. Dilingkupi oleh kubah besar berbentuk batok kelapa terbalik, yang terbuat dari bahan aluminium sheet kalcolour berwarna emas. Rupanya atap inilah yang menjadi salah satu ciri khas masjid ini. Bentuk atap ini mirip dengan atap Gedung Sultan Suriansyah yang ada di Jl. Brigjen Hasan Basri. Terdapat juga lampu gantung dari kaca yang berkilap di tengah ruangan, yang digantungkan persis di bawah kubah.

Nama Sabilal Muhtadin diberikan sebagai bentuk penghormatan terhadap Ulama Besar (almarhum) Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary, seorang tokoh agama Islam di Kalimantan Selatan. Sabilal Muhtadin sendiri merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh beliau. Perlu Kawan ketahui juga bahwasanya 98 persen penduduk Banjarmasin beragama Islam. Bahkan, menurut Steve Frankham dan James Alexander dalam Fooprint Borneo, Banjarmasin memiliki masjid yang berlimpah: rata-rata terdapat sebuah masjid per 40 kepala keluarga!

Syahdan, beberapa bulan yang lalu keinginanku untuk merasakan sholat Jum’at di masjid ini kesampaian juga. Sampai di masjid sekitar jam 11.30 WITA, ternyata masjid masih sepi. Langsung saja mengambil air wudhu di pelataran masjid.

Ada sedikit perbedaan tata cara sholat di sini bila dibandingkan dengan Jawa. Sebelum khotbah Jum’at, dibacakan Al Qur’an oleh seorang santri. Dibacakan, dan bukan rekaman kaset, di atas mimbar dengan gagahnya. Elok benar suaranya, dan tentu tak menyimpang sedikit pun dari tajwid yang diajarkan gurunya.

Dibacakan juga laporan keuangan dari pengurus masjid. Lalu disusul dengan pembacaan tahlil oleh kyai besar di sana. Sampai di sini aku gelisah, sambil mengganti-ganti posisi bersila. Ya begini inilah nasib orang yang tidak pernah dilatih kondangan di waktu kecilnya. Kaki kesemutan, punggung pegal, belum lagi ditambah dengan perut yang keroncongan. How pathetic.

Khotbah pun akhirnya selesai, yang kemudian dilanjutkan dengan sholat dan doa. Total waktu dua jam aku berada di masjid ini menjadikannya sebagai sholat Jum’at terlama sepanjang hidupku.

Jumat, 02 Oktober 2009

Tugu Pahlawan


Karena sudah bosan jalan-jalan di mall, maka minggu kemarin aku sempatkan diri untuk berkunjung ke Tugu Pahlawan. Walau dengan mata terkantuk akibat hanya tidur 2 jam pada malam harinya, tapi dengan semangat 45 aku pun berangkat ke sana.

Monumen Tugu Pahlawan dan Museum Sepuluh Nopember didirikan sebagai bentuk kebanggaan atas kemenangan arek-arek Suroboyo pada pertempuran heroik tanggal 10 Nopember 1945. Museum yang diresmikan pada tahun 2000 dan berlokasi di dalam lapangan Tugu Pahlawan ini telah dikenal sebagai salah satu tujuan wisata kota Surabaya.

Di museum ini, rekaman asli pidato Bung Tomo yang berapi-api membangkitkan gelora dan hasrat rakyat akan kemerdekaan dapat didengarkan dari sebuah radio kuno. Beberapa diorama statis menggambarkan aksi kepahlawanan arek-arek Suroboyo, yang hanya dengan menggunakan senjata sederhana yaitu bambu runcing, mampu memenangkan pertempuran melawan musuh.

Bambu ini bukan bambu biasa. Terbuat dari bambu “Apus” atau “Ori” yang dipangkas meruncing pada salah satu ujungnya. Konon menurut beberapa cerita, bambu tersebut diberi mantra agar memiliki kekuatan.Sehingga tidak kalah dengan senjata macam senapan mesin Browning model 41,30 mm atau pun senapan mesin Kotkies Japan kaliber 7,7 mm.


Dan sepertinya bambu runcing ini juga mesti dipatenkan supaya tidak diakui sebagai warisan budaya oleh negara tetangga..hehe…Merdeka!

Jam buka : Selasa – Kamis (08.00 – 14.30); Jum’at (08.00 – 14.00); Sabtu – Minggu (08.00 – 13.00); Senin dan Hari Libur Nasional tutup.

Bea masuk : 2000 rupiah.

Minggu, 05 Juli 2009

Kebun Binatang Surabaya (KBS)


Ada satu hal menarik, kalau tidak boleh disebut menggelikan, ketika aku mengajak beberapa orang dari Surabaya untuk mengunjungi obyek wisata andalan Wonogiri yang bernama Waduk Gajahmungkur. Di dalam waduk itu terdapat sebuah kebun binatang. Sudah lama juga aku tidak berkunjung ke waduk, alih-alih memperhatikan hewan apa saja yang ada di dalamnya. Tiba-tiba salah satu dari orang Surabaya itu tertawa terbahak-bahak. Apa pasal? Ternyata dia melihat salah satu koleksi yang cukup unik menurutnya. “Mbeeeeekkk…”, dan hewan itu menyapa kami seenaknya.

Belum lagi kalau melihat banyaknya muda-mudi yang berpacaran di tempat sepi, berpelukan dan lain sebagainya. “Wah, ada yang pacaran di keong tuh…Bisa-bisa nanti ada istilah ‘keong bergoyang’…hahaha…”, kata salah seorang dari mereka. Aku tersenyum masam. Maksud hati ingin menunjukkan obyek wisata andalan tanah kelahiran, apa daya ‘keong bergoyang’ yang didapat. Pelajaran moral ke tujuh belas, jika hendak ke Waduk Gajahmungkur jangan lupa bawa kondom. Lho?!?

Aku tidak akan membahas kenapa ada yang sampai hati menaruh kambing di kebun binatang. Apakah karena perawatannya yang relatif mudah dan waktu hari raya kurban bisa dijual? Who knows?! Tidak pula membahas, betapa asyiknya pacaran masa kini di dalam bangunan berbentuk keong. Tapi aku akan bicara soal Kebun Binatang Surabaya (KBS), supaya nantinya guru-guru SD punya referensi tentang kebun binatang yang bagus bagi anak didik mereka. Jangan sampai siswa SD yang setiap sore menggembala kambing, saat study tour pun harus membuat laporan tentang kambing!

Ada dua hal baru saat aku kembali masuk ke KBS beberapa waktu yang lalu. Pertama, aku ke sana ditemani wanita cantik berambut lurus panjang yang namanya “kamu-pasti-sudah-tahu”. Dan kedua adalah, adanya fasilitas hot spot gratis. Meski gratis, tapi aku lihat tidak ada satu orang pun yang menggunakan fasilitas itu. Kebanyakan pengunjung lebih suka duduk lesehan di atas tikar, makan nasi dengan lauk seadanya, sambil menonton pengunjung lain naik gajah. Paling-paling orang itu datang dari desa. Aku menduga demikian karena keluarga kami dulu juga begitu bila berkunjung ke obyek wisata, membiasakan diri membawa bekal dari rumah. Harga makanan di warung sekitar obyek wisata biasanya mahal, dan itu tidak terjangkau oleh rakyat jelata seperti kami. Aku masih ingat, dulu sebelum berangkat ‘rekreasi keluarga’ ke Tawangmangu, ibu pagi-pagi sudah menggoreng singkong untuk bekal. Harga sate kelinci di sana terlalu mahal bagi kami.

Satu hal lain yang harus diingat bila pergi ke KBS adalah, walau pun harga tiketnya cuma 10 ribu rupiah tapi jangan bawa uangnya persis 10 ribu rupiah. Minimal bawalah sekitar 30.000 rupiah, apalagi bila datang bersama pasangan. Dengan begitu Kawan bisa masuk ke aquarium KBS (3000 rupiah), foto bareng kakatua-kecil-jambul-kuning (2000 rupiah), naik gajah (5000 rupiah), naik kuda (3000 rupiah) dan beli es teh (2500 rupiah).

Koleksi KBS kukatakan cukup lengkap. Ada jerapah, gajah, monyet, unta, harimau sampai bison. Tapi sepertinya kambing belum ada. Berputar-putar di KBS minimal butuh waktu dua jam. Jadi, kalau Kawan hendak ke sana sebaiknya sarapan dulu dari rumah. Atau kalau hendak membawa makanan dan minuman dari rumah juga bisa. Tapi ingat, buang sampah pada tempatnya.

Selamat berlibur.

Senin, 29 Juni 2009

Solo Batik Carnival 2009


Sebagai dokter Jawa yang menghormati budaya (pret!), saya kemarin menyempatkan diri untuk menghadiri even Solo Batik Carnival (SBC) yang dilaksanakan di sepanjang jalan Slamet Riyadi, Solo. Tema SBC kali ini adalah topeng. Karnaval sebenarnya direncanakan mulai jam 2 siang, tapi hingga jam setengah 3 belum juga ada tanda-tanda akan dimulai. Iseng-iseng saya jalan-jalan menyusuri city walk menuju ke arah barat. Ternyata di sekitar perempatan Kota Barat terdapat deretan stan penjual batik. Dari rumah memang tidak ada niat untuk membeli batik, karena saya sendiri kurang tertarik mengenakan batik terkecuali saat kondangan atau acara sunatan.

Hingga di sebuah stan saya melihat seorang wanita yang membelakangi saya, mengenakan rok mini, berkulit putih, dan berambut lurus panjang. Ketika wanita itu membalikkan badan, “Oiii…”, kami sama-sama terperangah. Ternyata dia adalah Rani.

Bukan Rani Juliani Kawan, tapi Maharani. Dia pernah satu kelas dengan saya waktu SMA dulu. Kakaknya malah sebangku dengan saya. Rani adalah salah satu dari “sepuluh wanita tercantik” di SMA saya, jadi memang dirinya sangat tenar waktu itu. Setelah bercakap-cakap ini dan itu saya menjadi tidak enak kalau tidak membeli, padahal uang di dompet tinggal 50 ribu.

Jadilah saya bertanya-tanya tentang barang dagangannya. Stannya menjual kemeja dan kain, yang semuanya bermotif lurik. Lurik beda dengan batik, walaupun mirip. Jika diperhatikan dengan seksama, motif lurik lebih sederhana yaitu berupa garis-garis dengan beraneka ragam warna. Lurik yang dijual katanya berasal dari Klaten, tepatnya daerah Pedan. Harganya lumayan terjangkau: kemeja pria harganya 90 ribu rupiah, baju wanita harganya 125 ribu rupiah, sedangkan kain 1,1 m harganya 40 ribu rupiah. Saya sebenarnya tertarik dengan kemeja pria.

Mbok harganya didiskon, kan baru promo”, kata saya.

“Iya, diskonnya 10 persen”

“50 ribu ya”, saya mencoba menawar. Saya sebenarnya mau saja membayar yang dia tawarkan, mengingat kemejanya memang bagus. Tapi budget kan mepet, masak saya mesti bilang: “Ran, duitku mepet nih. Dikasih ya? Nanti tak bantu beres-beres stan kalo acaranya dah selesai”. Malu dwong.

“Harganya memang segitu Ndri. Gak bisa kurang”, kata Rani.

Akhirnya saya membeli kain saja. Dapat diskon 10% jadinya 36 ribu rupiah. Lumayan.

Tak berapa lama kemudian saya bertemu dengan blogger Solo yang tak asing lagi, Dony Alfan si Putera Daerah. Niatnya datang tak beda jauh dengan saya, hunting foto. Bedanya, saya amatiran dan Dony sudah sangat profesional. Itu bisa dilihat dari kameranya.

Dan waktu pun menunjukkan pukul setengah 4, karnaval dimulai. Tampak walikota Solo bersama wakilnya naik kuda, kemudian diikuti oleh iringan putri-putri solo yang aduhai mulusnya. Membuat kamera saya tak henti-henti membidik meski panas menyengat.

Senin, 22 Juni 2009

Jembatan Suramadu


Jembatan Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura. Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).

Tarif tol untuk roda dua 3.000 rupiah, lebih murah dibanding bila naik fery yang mencapai 6000-7000 rupiah. Untuk roda empat mencapai 30.000-50.000 rupiah. Dengan alasan ini lah, saya hari ini lebih memilih naik sepeda motor dibanding mobil untuk menjajal jembatan tersebut. Maksudnya supaya lebih hemat..hehehe...

Senin, 13 April 2009

Candi Borobudur

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Roby, seorang blogger asal Kalimantan Selatan, yang telah memberi saya award.

Sesuai kebiasaan yang ada di Andri Journal, bahwa award yang diterima tidak pernah diteruskan ke blogger lain, tetapi akan disimpan dengan sepenuh hati di ‘almari’ bersama award yang lain. Sekali lagi, terima kasih ya Rob..Semoga kita kawa tarus bakawan.

Lanjuuuuttt…

Baik, kali ini saya akan bercerita tentang kisah perjalanan saya ke Candi Borobudur beberapa hari yang lalu. Saya terakhir kali ke Candi Borobudur pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu saya pikir candi ini memang benar-benar candi raksasa. Untuk mendaki sampai ke puncaknya saja sampai napas tersengal-sengal. Tapi saat saya jalan-jalan ke sana kemarin kok rasanya candi ini tak semegah dulu ya? Apa karena badan saya yang bertambah bongsor. Jadinya tangga ke atas yang dulunya didaki dengan susah payah itu sekarang bisa didaki dengan santainya? Bagaimana menurut Anda?

Anyway, pesona Candi Borobudur memang tak lekang oleh jaman. Yang bikin terkagum-kagum itu reliefnya yang amat sangat menakjubkan. Batu-batu yang dipahat dan ditumpuk sedemikian rupa itu seolah membentuk sebuah cerita yang kaya makna. Kata pemandu, relief itu mengabarkan tentang kelahiran Buddha. Mulai dari kisah sepasang suami istri yang lama tak dikaruniai anak, lantas istri itu hamil dan melahirkan anak yang kelak menjadi Buddha.

Candi Borobudur terdiri atas 10 tingkat, dimana 4 tingkat teratas dipenuhi oleh stupa. Konon, orang yang berhasil memegang patung yang ada di dalam stupa maka cita-citanya terkabul. Adalagi yang bilang kalau yang harus dipegang itu pusarnya. Ada-ada saja. Mungkin saja mitos ini dikisahkan oleh orang-orang yang tangannya panjang. Kalau saja mitos itu benar, kan kasihan sekali orang-orang bertangan pendek, cita-citanya tidak akan tercapai.

Sampai di puncak hanya ada satu stupa tapi besar. Di situ banyak sekali turis yang mengambil gambar dengan latar belakang stupa, baik turis lokal maupun turis asing. Ada juga anak-anak sekolah yang mengajak kenalan sama bule-bule. Saya sendiri merasa bahwa ada yang kurang kalau tidak foto bareng bule.

“Hello sir, I want to take a photograph with you”

“All right… All right…”

Kami pun berfoto.

“Where are you coming from sir?”

“Switzerland. Where is your friend?”

Saya menjawab bahwa saya datang bersama pacar dan anak pungut kami..hehe.. Si bule pun mengajak foto bareng. Kebetulan ada turis Jepang lewat, dan si bule pun meminta tolong dia untuk memotret kami berempat.

“Are you alone sir?”, tanya saya.

“No, I’m with my daughter”, katanya sambil menunjuk kedua anaknya yang saat itu baru ‘diwawancarai’ oleh gerombolan anak-anak berseragam sekolah.

Kami pun berpisah.

“Eh, itu tadi berarti tetangganya mbak Judith ya mas?”, tanya pacar.

“Oh iya..sampai lupa nanya. Siapa tahu kenal ya..Eh, jangan-jangan dia juga punya blog?!”

Di pintu keluar candi terdapat juga dua buah museum yaitu museum Karmawibangga dan museum kapal. Di museum Karmawibangga terdapat kumpulan rekor-rekor MURI. Pengunjungnya tidak begitu ramai karena jalan ke museum paralel dengan jalan keluar. Kebanyakan turis lebih memilih langsung keluar daripada mampir ke museum, mungkin karena sudah kelelahan.

Pesan saya bagi yang ingin jalan-jalan ke Candi Borobudur: pertama, bila ingin naik ke Candi Borobudur sarapan dulu, supaya kuat mendaki. Makan selama pendakian tidak diperbolehkan karena menjelang pintu masuk tas pengunjung digeledah. Segala macam makanan dan minuman tidak boleh dibawa saat naik ke atas candi. Kedua, jangan lupa juga bawa topi atau payung, karena di atas candi panasnya minta ampun, apalagi kalau sudah lewat jam 10 pagi.

OK, selamat jalan-jalan!

Selasa, 07 April 2009

Jatim Park


Hwaaaaaaaaaaa

….

Hwaaaaaaaaaaa

…..

Hwaaaaaaaaaaa


Teriakan histeris membahana saat saya naik wahana yang bernama Columbus. Itu lho, mainan yang bentuknya mirip ayunan di TK (Taman Kanak-Kanak) tapi ukurannya raksasa, sampai bisa ditempati hingga 10 orang. Dasarnya orang desa, bukan main takutnya saya saat itu. Sampai kedua kaki saya bergetar dibuatnya. I swear, I will not try this fuck*n toy again! Jantung ini rasanya seperti lepas dari tempatnya, apalagi saat ayunan meluncur ke bawah. Mmmmh...Tangan saya sampai memegang erat-erat pegangan dari besi yang melintang di atas paha. Tapi ketakutan itu saya tahan sebisanya. “Malu dong, kan dilihat ama pacar..hee..”

Wahana Columbus hanyalah salah satu dari puluhan wahana yang ada di Jatim Park, Malang, Jawa Timur. Saya lebih suka menyebut Jatim Park sebagai ‘taman gado-gado’. Saya sebut demikian karena isi taman tidak melulu bunga dan kupu-kupu, tapi ada banyak hal di sana.

Galeri Etnik Nusantara

Menampilkan pakaian adat dari berbagai suku di Indonesia. Yang paling saya kenali adalah pakaian adat dari Suku Dayak. Motifnya yang terbuat dari manik-manik berwarna-warni terlihat bagus, apalagi kebetulan boneka yang dipajang juga cantik. Sebetulnya yang lebih khas lagi ada, yaitu gendongan bayinya, tapi saya lihat kemarin tidak ada. Kalau tidak salah, motif yang diambil berasal dari Kalimantan Timur. Karena setahu saya motif dengan lekukan-lekukan seperti itu berasal dari sana, berbeda dengan motif yang berasal dari Kalimantan Tengah yang didominasi tameng berbentuk segienam.

Di anjungan Jawa Timur dan Papua bisa Anda jumpai rumah adat dari Suku Asmat berikut aktivitas mereka dan relief karapan sapi dari Madura.

Galeri Belajar

This gallery reminds me at a quiz in the past, which its famous words are “kita tanya Galileo”. Jadi ada beberapa fenomena alam yang ditampilkan kemudian kita diberitahu penjelasannya kenapa itu bisa terjadi. Misalnya saja ada sebuah bola plastik yang mengambang di atas kipas angin yang dipasang tepat di bawahnya. Nah dari penjelasan yang ada di dekatnya, pengunjung diberitahu bahwa itulah salah satu penerapan hukum Bernoulli. Apa itu hukum Bernoulli? Kita tanya Galileo…

Tapi ada beberapa juga yang tidak diberi penjelasan sama sekali, sehingga ini menyulitkan saya untuk memahami maksudnya.

Lalu ada juga tabel periodik unsur kimia raksasa, prinsip katrol, dan prinsip tuas. Dengan adanya galeri belajar ini maka Jatim Park sangat pas bila dipakai sebagai lokasi tujuan study tour. Apalagi selain galeri ini juga ada Taman Agro dan Taman Sejarah. Children may like it very much.

Taman Burung

Di sini saya menjumpai aneka burung yang berwarna-warni. Ada juga sangkar besar yang bisa dimasuki pengunjung, sehingga bisa berinteraksi langsung dengan burung-burung itu. Tapi pacar saya lari nyelonong begitu saja saat memasuki sangkar ini. Takut kejatuhan tahi burung katanya. Tahi-burung-phobia.

Yang menarik hati saya itu burung beo yang ada di pojokan. Beo ini fasih bicara, terutama bila bersuara “cewek…cewek…”. Selain itu ‘dia’ juga fasih bersuara “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Assalamualaikum” juga lho. Kemarin kebetulan saya rekam dengan kamera handphone. Dialog Orang Gila vs Beo bisa didownload [di sini].

Arena Bermain

Selain Columbus, ada juga Drop Zone, Tornado dan Spinning Coaster. Yang saya coba baru Columbus dan Drop Zone, itu pun saya kapok dan tidak mau lagi bila diminta bermain. Soalnya yang ada di pikiran saya waktu itu kalau-kalau ternyata alatnya rusak dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Hiii…Saya kan masih bujang tahu?!?”

Lalu ada juga Rumah Pipa, Taman Sesat dan Rumah Hantu. Sebenarnya masih banyak wahana yang belum saya coba, secara saat saya ke Jatim Park kemarin hujan deras mengguyur kota Malang dan sekitarnya. Tapi memang benar kok, rugi kalau Anda belum pernah ke Jatim Park. Tiket masuk seharga 30 ribu rupiah rasanya memang sebanding dengan kepuasan yang akan Anda dapatkan.

Jumat, 20 Maret 2009

Ketika Orang Desa Makan Kepiting Tambora


Nenek Chiyo datang langsung dari Tsunagakure untuk menghadiri pesta pernikahan cucunya yang ada di Balikpapan. Beliau datang dengan ditemani oleh menantunya. Tubuhnya yang sudah renta tidak menyurutkan niat untuk datang, meskipun jarak yang ditempuh cukup jauh. Ini juga adalah pengalaman pertama beliau naik pesawat.

“Kendaraannya kok gak jalan ya?”, demikian kata beliau saat sedang naik pesawat, padahal saat itu pesawat sedang terbang. Dasar orang desa.

Beliau sampai di Balikpapan satu hari sebelum saya datang. Kesempatan bertemu dengan nenek tidak saya sia-siakan. Berhubung Britney tidak ada di tempat, jadilah nenek yang saya ajak jalan-jalan berkeliling kota Balikpapan. Mengingat kondisi nenek, maka saya hanya mengajak beliau jalan-jalan di sepanjang Jl. Jendral Sudirman saja.

Tujuan yang pertama adalah Pantai Monpera. Sedikit berasa aneh. Betapa tidak, di pantai itu banyak muda-mudi yang bercengkerama dengan pasangannya masing-masing sementara saya menggandeng nenek-nenek!

“Ayo turun ke pantai nek”, kata saya.

“Gak usah Ndri. Di sini saja”, kata nenek. Mungkin beliau takut dengan ombak.

Setelah puas menikmati suasana pantai, kami pun lalu beranjak ke kawasan Pelabuhan Semayang dan Pertamina. Suasana yang mendung membuat saya tidak bisa berlama-lama di kedua tempat itu.

“Nek, sudah capek belum?”, kata saya.

“Memang mau kemana lagi?”, kata nenek.

“Ayo makan dulu. Nyobain kepiting…hehe…”

Kami pun beranjak menuju ke arah Bandar Udara Sepinggan. Di sebelah kiri jalan terdapat rumah makan seafood, Kepiting Tambora namanya.

“Kita makan di sini Nek”, kata saya.

Benar saja. Tidak berapa lama setelah kami duduk, hujan deras pun turun. Saya lalu memesan kepiting dengan saus tambora, sementara untuk nenek saya pesankan cumi-cumi dengan saus tiram. Kuberitahu satu rahasia Kawan, saya belum pernah makan kepiting!

FYI, rumah makan Kepiting Tambora ini cukup terkenal di Balikpapan. Artis ibukota macam Indra Bekti dan Nirina Zubir pernah mampir di sini. Harga menunya relatif mahal bagi orang seperti saya yang terbiasa makan di warteg. Kepiting saus tambora satu porsi harganya 92.500 rupiah, sementara cumi-cumi saus tiram harganya 40.000 rupiah. Makan makanan mahal sekali-kali tidak apa-apa, untuk menyenangkan hati.

Pesanan pun datang.

“Wah…kepitingnya besar sekali nek. Nenek mau kan?”, kata saya sambil memberikan sedikit bagian kepiting kepada beliau.

Saya cicipi sausnya, ternyata enak sekali Kawan. Bumbunya meresap sampai ke ruas-ruas sendi. Warna saus yang merah merona semakin menambah selera. Berulang kali saya gigit cangkang yang keras untuk mengeluarkan daging di dalamnya.

“Enak gak nek?”, kata saya.

“Enak Ndri. Rasa sausnya juga gak terlalu pedas. Cuminya juga enak”, kata nenek sambil sibuk mengeluarkan daging dari dalam cangkang.

“Sekali-kali makan enak nek. Di Kapuas sehari-hari makananku cuma ikan asin je…”

Saat makanan sudah hampir habis, saya menoleh ke sebuah alat mirip sumpit, tapi bahan dasarnya dari stainless steel. Sebenarnya sudah lama saya tahu ada alat di situ, tapi saya acuhkan saja. “Makan pakai tangan kan bisa, kenapa harus pakai sumpit”, batin saya.

Penasaran dengan alat itu lalu saya mengutak-atiknya. Lalu terbersit sebuah pikiran yang ganjil. Kalau saya menaruh kepiting ini di tengah (sebagai titik beban), di antara titik tumpu dan tangan saya bertindak sebagai titik kuasa, kok rasa-rasanya…Eureka!

“Nek, ini ternyata alat untuk memecah cangkang kepiting! Kalau kita taruh kepitingnya di tengah gini lalu kita hancurkan pakai alat ini ternyata dagingnya bisa kita ambil dengan mudahnya”, kata saya sambil mempraktekkan.

Saya memandangi nenek sambil melongo. Nenek juga melongo. Kedua orang desa melongo.

“Ndri…Ndri…Kepitingnya dah mau habis baru tahu cara makannya”, kata nenek.

“Hahahahahahahaha…..”

Jumat, 13 Februari 2009

Paket Wisata Kuin: Pasar Terapung dan Pulau Kembang

“Ini namanya sungai apa to pak?”, tanya saya kepada Pak Ramdhani.

“Ini Sungai Barito”

“Trus yang tadi itu sungai apa?”, tanya saya seperti halnya anak SD yang sedang mengikuti study tour.

“Yang tadi itu Sungai Kuin. Sungai Kuin itu penghubung Sungai Martapura dan Sungai Barito”, jawab Pak Ramdhani sambil menyetir kelotoknya.

“Ooooo…”, kata saya sambil memanggut-manggut. Tidak lupa sesekali saya mengambil gambar jukung-jukung* yang berlalu lalang di tempat itu.

Pak Ramdhani, seorang pria Banjar setengah baya, adalah seorang sopir kelotok yang bermukim di Sungai Kuin. Pagi itu jam 05.30, saya booking kelotoknya untuk mengantarkan saya sendirian berjalan-jalan (lebih tepatnya berperahu-perahu) untuk menikmati Paket Wisata Kuin: Pasar Terapung dan Pulau Kembang. Sendirian, karena pada saat yang bersamaan, Britney Spears sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri.

Pasar Terapung

In English, you can say it with ‘floating market’. Merupakan pasar tradisional khas Kalimantan Selatan. Hanya terdapat di pagi hari, biasanya dimulai setelah sholat Subuh. Anda harus menyewa kelotok yang ada di dermaga sepanjang Sungai Kuin untuk sampai di tempat tersebut. Sebenarnya bisa saja memakai sepeda, tapi sepedanya harus Anda naikkan ke kelotok. Setali tiga uang.

Suasana pagi hari yang sejuk secara tidak sengaja memberi keasyikan tersendiri. Bau badan karena belum mandi pun seakan tak terasa. Tidak perlu Anda membawa makanan dari rumah, karena di tempat tersebut ada saja yang menjual makanan. Beberapa bucil ada yang menjual wadai (kue), ada juga yang menjual sayuran dan buah-buahan. Mulai dari buah jeruk, buah bundar sampai buah kelapa.

“Kita ke tempat ibu itu dulu Pak. Saya mau beli wadai dulu”, kata saya, layaknya Arjuna yang memberi aba-aba pada Sri Kresna, sang kusir.

Transaksi pun terjadi.

“Harga wadainya berapa ini Bu”, tanya saya sambil menunjuk wadai berbentuk bolu berwarna kuning.

“Beli sepuluh harganya lima ribu”, kata acil.

“Beli dua ribu boleh?”

“Boleh ja”, kata acil.

Langsung saja saya makan di tempat itu. Ternyata enak juga, apalagi sambil melihat wisatawan-wisatawan cantik yang berfoto-foto ria di tempat itu. Hmm, nyaman banar.

“Kita ke pasar ikan dulu lah”, kata Pak Ramdhani.

“Ayuja”

Ternyata Kawan, pasar terapung itu ada dua lokasi. Yang satu menjual berbagai macam sayuran, buah, dan makanan. Sementara yang lain khusus menjual hasil laut. Informasi yang baru bagi saya.

Sebelum menuju ke Pulau Kembang, saya ajak Pak Ramdhani untuk mampir sejenak di warung apung. Sekali-kali boleh lah menjajal makan soto banjar di atas sungai. Harganya juga sama saja dengan yang dijual di daratan.

“Seharian berjualan di sini kah?”, tanya saya. Si penjual menjawab bahwa dirinya berjualan di tempat itu hanya sampai siang hari saja. Setelah kenyang, saya lalu mengajak Pak Ramdhani ke Pulau Kembang untuk bertemu dengan teman-teman lama.

Pulau Kembang

Dari kejauhan, Pulau Kembang tidak jauh beda dengan Isla Sorna dalam film Jurrasic Park. Kesannya seperti tak berpenghuni. Tapi ternyata dugaan saya salah setelah sampai di dermaga pulau itu. Berbondong-bondong teman lama menghampiri saya tanpa permisi. Tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, janda-duda, langsung saja menyerbu saya, lebih tepatnya menyerbu wadai yang saya beli tadi. Ludes tanpa sisa dalam tempo 5,324 detik! Ommmaaa.

“Saya naik dulu ya Pak”, kata saya pada Pak Ramdhani. Kali ini seperti Direktur Pertamina menyuruh sopirnya untuk memarkir kendaraan.

“Inggih. Saya tunggu di sini saja”, kata Pak Ramdhani sambil mengikatkan kelotoknya di dermaga.

“Titip buah bundarnya sekalian ya”

Masuk ke pulau itu ternyata dikenai tiket seharga 3500 rupiah. Saya kasih uang 10.000 rupiah kepada penjual tiket.

“Wah, tidak ada kembaliannya Pak. Saya kasih kembalian kacang saja ya. Nanti kan bisa foto-foto bareng monyet-monyet itu. Kalau diberi kacang mereka biasanya langsung ngumpul”, kata penjual tiket berpromosi.

“Lha terus yang motret siapa?”

“Ini bisa pak”, kata penjual tiket sambil menunjuk seorang gadis.

“Beneran gak kamu bisa mengoperasikan kamera ini?”, kata saya kepada seorang gadis kecil sedikit meremehkan.

Akhirnya saya duduk bersila. Dan begitu kacang diguyurkan, monyet-monyet datang menyerbu. Byurrrr….ada yang naik di kepala menjambak rambut. Byurrrr…saya mencium bau monyet yang tak pernah mandi. Byurrrr….terdengar sayup-sayup “Pak jangan gerak-gerak lho ya. Nanti monyetnya malah takut”. Byurrr….sesekali tampak seorang gadis yang cengar-cengir sambil mengambil foto bak paparazzi. Byurrrr….Byurrrr….Byurrrr….dan Raja Monyet dari Selatan pun akhirnya berfoto dengan para punggawanya.



*Jukung adalah perahu kecil yang terbuat dari kayu. Acil bajukung artinya ibu-ibu yang sedang berada di atas jukung. Biasanya mereka membawa serta tutup kepala lebar yang diberi nama tanggui.

Rabu, 14 Januari 2009

Tour de Balikpapan


Obyek wisata di Balikpapan memiliki 2 kata kunci: pantai dan hutan. “Balikpapan memiliki tata ruang kota yang lebih teratur dibanding Samarinda”, kata Oom saya. Ada 3 jalan utama yang wajib Anda tahu bila tidak ingin tersesat, yaitu Jl A.Yani, Jl Jend.Sudirman dan Jl Soekarno-Hatta. Obyek wisata pantai ada di sepanjang Jl Jend.Sudirman, sedangkan obyek wisata hutan (agrowisata) ada di sepanjang Jl Soekarno-Hatta, yang juga adalah penghubung antara kota Balikpapan dengan Samarinda. Jl A.Yani menghubungkan keduanya (Jl Jend.Sudirman dan Jl Soekarno-Hatta).

Pantai Klandasan

Pantai ini terletak tidak jauh dari pusat kota, tepatnya di Jl Jend.Sudirman, sehingga bisa dikunjungi kapan saja. Pasirnya putih dan lokasinya lumayan bersih. Pantai ini menghadap ke arah timur dan cocok untuk dikunjungi saat pagi hari.

Terdapat beberapa kafe yang sengaja didirikan di tempat tersebut. Untuk masuk dikenakan tarif 1000 rupiah saja. Jangan lupa membawa pakaian ganti dari rumah bila ingin berceburan ke laut.


Pantai Manggar

Pantai ini terletak kurang lebih 15 km dari pusat kota, menyusuri tepi laut ke arah utara. Pasirnya sama-sama putih tapi lokasinya lebih luas dari Pantai Klandasan. Pengunjungnya juga lebih banyak. Di dalamnya bisa Anda jumpai beberapa warung yang menjual es kelapa muda. Bagi yang ingin lesehan, Anda bisa meminjam tikar di tempat tersebut dengan biaya sewa 5000 rupiah saja. Semilir angin laut yang sejuk sangat pas bila digunakan untuk makan siang bersama keluarga. Ada juga banana boat yang bisa Anda naiki bersama 5 orang teman Anda.

Pantai ini cocok untuk bola voli pantai, selain untuk pacaran tentu saja. Sayangnya belum ada fasilitas parkir yang benar-benar dijaga oleh petugas keamanan. Untuk masuk dikenakan tarif 2000 rupiah. Membawa tikar dari rumah juga tidak ada salahnya, untuk menghemat biaya.

Pantai Lamaru

Oleh karena ketiga pantai (Klandasan, Manggar dan Lamaru) menghadap ke laut yang sama (Selat Makassar), maka pemandangan yang akan Anda dapatkan juga tidak jauh berbeda. Dari ketiga pantai, mungkin ini lah pantai yang terluas. Banyaknya tumbuhan pinus yang tumbuh menambah asri pemandangan yang ada di sana. Membawa ban pelampung dari rumah juga boleh, bila Anda enggan menyewa ban pelampung di sini.

BC

Adalah kependekan dari Balikpapan Centre. Merupakan mall 4 lantai yang notabene adalah mall terbesar di Balikpapan. Terletak di pinggir laut, masih di sepanjang Jl Jend.Sudirman. Di dalamnya bisa Anda jumpai Gramedia untuk membeli buku dan Matahari untuk menambah koleksi pakaian. Sayangnya, dari investigasi yang saya lakukan tidak ada fasilitas wi-fi di mall ini. Kawula muda di Balikpapan lebih suka nongkrong di Lapangan Merdeka memamerkan sepeda motor mereka, dibanding blogwalking. Jadi, untuk apa membawa laptop ke mall?

Penangkaran Buaya

Buaya yang ditangkar di tempat ini adalah jenis Buaya Muara (Crocodillus porosus). Kandang-kandang yang dibangun sangat banyak, dan dipisah-pisahkan antara buaya remaja dan buaya induk.

“Tangkur buaya itu apa to pak?”, Tanya saya pada seorang pawang yang baru saja membersihkan kandang buaya.

“Itu alat kelaminnya buaya”, kata pawang.

“Kelamin? Terus khasiatnya apa itu pak?”

“Itu untuk menghilangkan pegal-pegal, nyeri pinggang dan obat kuat”

“Cara bikinnya?”

“Direndam dulu dengan arak. Terus airnya diminum. Minum satu sloki aja pegal-pegal langsung hilang”

“Harganya berapa pak?”

“Sekitar 200 ribu sampai 400 ribu”, kata pawang.

“Mending minum paracetamol aja kalau cuma untuk menghilangkan pegal-pegal”, batin saya.”Kalau bisa bikin kebal senjata tajam baru saya beli”.

Harga tiket masuk 10 ribu rupiah. Dan bila ingin melihat para buaya berebutan makanan, Anda bisa membeli ayam di tempat itu 10 ribu rupiah per ekornya. Anda bisa juga membawa sapi dari rumah bila tidak mau membeli ayam di tempat ini.

Hutan Lindung Sungai Wain

Agrowisata ini terletak di Jl Soekarno-Hatta Km 23. Merupakan sisa hutan primer dataran rendah Kalimantan yang terakhir di Balikpapan. Bahkan antara Balikpapan sampai ke Samarinda pun konon tidak ada lagi hutan dataran rendah yang masih utuh dengan keanekaragaman hayati yang lengkap.Di hutan ini masih dapat ditemukan populasi beruang madu dengan jumlah terbatas. FYI, beruang madu adalah maskot Kota Balikpapan sejak 2004.

Di enklosur yang dibangun pun hanya terdapat 5 beruang madu, 3 diantaranya pejantan. Saya beruntung bisa melihat salah satunya, walau pun saat itu sang beruang sedang tiduran di pohon. Beruang madu memang hidupnya diurnal, yang berarti aktif pada siang hari, tetapi sering juga tidur sejenak di siang hari. Jadi, tak jarang pengunjung yang tidak bisa melihatnya, apalagi yang menderita rabun jauh.

Beruang madu dalam istilah ilmiah dikenal dengan nama Helarctos malayanus, yang berarti “beruang matahari dari Malaya”, atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Sun Bear. Merupakan beruang terkecil dari jenis beruang lainnya, tetapi memiliki lidah dan kuku depan yang terpanjang. Lidah dan kuku yang panjang itu digunakan untuk mencari makanan. Sebab beruang madu sangat suka makanan berbagai jenis serangga seperti rayap dan ulat kumbang yang hidup di dalam kayu lapuk. Beruang ini juga suka sekali makan madu. Dengan taring dan kukunya, ia dapat dengan mudah membongkar kayu untuk mencari sarang lebah atau kelulut yang tersembunyi di dalam batang pohon.

Oleh-Oleh

Tidak lengkap rasanya bila pergi berwisata tanpa membawa buah tangan ke rumah. Anda bisa membeli berbagai macam kerajinan khas Kalimantan di Pasar Inpres Kebun Sayur. Di tempat tersebut Anda juga bisa membeli Sarung Samarinda dan Batik Kaltim. Harga sarung berkisar antara 45-50 ribu rupiah, tergantung kualitasnya. Dan bila Anda lebih memilih buah tangan berupa makanan, pertokoan di Jl A.Yani menjual berbagai merk amplang (kerupuk khas Kalimantan).




Jumat, 10 Oktober 2008

Hari Ini Hari Jum’at

"Hari Jum’at adalah hari pendek", itu kata orang. Menurut saya, panjang pendeknya waktu itu mengikuti teori relativitas Einstein: bila kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan melambat. Tafsir saya begini, bila kita melakukan banyak hal dalam rentang waktu tertentu, maka waktu itu relatif menjadi lebih panjang.

***

Hari ini saya bangun di kota Surabaya jam 05.15, oleh ringtone SMS dari seorang teman dekat, Elfina. Sehari sebelumnya, tepatnya malam sebelum tidur, kami merencanakan pergi ke suatu tempat yang ada hot spot-nya. Ini sehubungan dengan keinginan saya sebagai orang udik untuk menjajal hot spot di Surabaya. Nah, kami selanjutnya jadian, eh salah maksudnya janjian untuk bertemu di Taman Bungkul*.

Sesampainya di Taman Bungkul, dengan diantar dr Freddy yang baik hati, ternyata hot spot-nya tidak bisa dipakai. Plan A gagal.

Misi pun beralih ke Plan B: gunakan hot spot di kampus Unair, kali ini saya gantian menumpang Fina. Waktu itu jam 07.30. Dan ternyata, di kampus Fina pun, kami tidak bisa memakai laptopnya. Ini dikarenakan laptopnya kehabisan baterai sementara kata Fina listrik di area itu baru menyala jam 08.00. Plan B juga gagal.

Misi pun beralih ke Plan Z. Kenapa tidak memakai Plan C dan seterusnya? Karena jam 10.00 saya harus pergi ke bandara Djuanda. Jadwal penerbangan saya adalah jam 13.00, dan saya ingin tiba di bandara jam 11.00 secara hari ini hari Jum’at, saya harus menunaikan ibadah sholat Jum’at.

Dan Plan Z pun ternyata membawa berkah. Pertama, walaupun cuma 1,5 jam (08.00 – 09.30), saya bisa deket-deket dengan Fina. Ingin rasanya memegang jemari tangannya. Tapi sayang, hari ini hari Jum’at. Hari Jum’at adalah hari suci, dan bagi yang cemburu dengan kelakuan saya di atas, silakan segera makan bakso, karena bakso bisa bikin perut Anda kenyang.

Kedua, bisa berkenalan dengan teman-teman Fina yang aduhai cantiknya, berambut lurus panjang tentunya. Oh Tuhan, terima kasih. Mereka ini adalah para mahasiswi Psikologi Unair yang tergabung dalam ‘geng’ bernama Suaka Winna Winna*.

Anggotanya ada enam orang, empat di antaranya adalah Fina si ikan pindang, Kuro Ijo si kura-kura, Kwek si bebek dan Teblong si katak. Dua anggota yang lain belum teridentifikasi.

Sempat terhenyak juga waktu masuk PMPM*, secara isinya kebanyakan cewek-cewek cantik! Mimpi saya untuk sekolah S2 di luar negeri pun buyar seketika. Saya ingin sekolah S2 di Unair saja, kalau bisa hari ini juga. Sayangnya, hari ini saya harus ke Kalimantan.

Jam 10.00 saya dijemput oleh dr Freddy yang sekali lagi, baik hati, untuk berangkat menuju ke Bandara Djuanda. Dan sesampainya di sana, saya sudah ditunggu oleh kolega saya yang PTT di Tamban Catur, dr Mida namanya. Dan dari Mida inilah, saya tahu bahwa ternyata pesawat berangkat jam 14.00, dan bukan jam 13.00. Serasa tidak percaya, saya lalu membuka kembali tiket saya, ternyata di situ tertulis 13.55. Yang saya baca cuma angka 13-nya saja!

Penerbangan kali ini lumayan berkesan bila dibandingkan tiga minggu yang lalu dengan maskapai yang sama – Mandala Air. Dirut Mandala mungkin membaca blog saya karena ternyata pramugari-pramugari kali ini lebih menarik. Acara penerbangan pun berjalan menyenangkan: suhu kabin-nya pas, jarak antar kursi yang lumayan longgar hingga kaki saya bisa selonjoran dan tentu saja majalahnya yang sangat artistik.

Dan pada akhirnya saya tiba di Banjarmasin. Sempat tidak percaya juga karena cuaca hari itu sangat sangat panas, mirip dengan Solo. Sampai seorang sopir taksi berkata,”Tunggu di sini sebentar lah…”.

Kata “lah” dengan logat Banjar yang khas menyadarkan saya, bahwa kaki saya ternyata sudah menginjak bumi Kalimantan.

* Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyebutan nama.

Update
Sabtu, 18 Oktober 2008


Enam bidadari turun ke Bumi untuk belajar mata kuliah psikologi di Unair, Surabaya. Gambar diambil dari [link]




Sabtu, 20 September 2008

Antara Kapuas Dan Wonogiri | part 2


Sore harinya, saya mengajak Fina untuk jalan-jalan. Pas saja, karena saat kami bertemu di Plasa Marina, waktu sudah menunjukkan jam 5-an, jadi bisa sekalian buka puasa bersama.Oh iya, saya ke Plasa Marina dengan diantar oleh dr Freddy. Dalam hal ini, kolega saya itu cukup pengertian dengan meninggalkan kami berdua (ehem…ehem...), alasannya sih mau makan duluan di McD soalnya dah keburu lapar…hehe…

Setelah berputar-putar mencari kedai makan yang cocok, kami akhirnya singgah di sebuah warung makan bernama WAPO – kata Fina itu kependekan dari Warung Pojok. Dilihat sekilas memang ramai secara saat itu waktu buka puasa hampir tiba. Bahkan, kami harus antre di luar hanya untuk mendapatkan meja.

Dan pada akhirnya, kami kekenyangan setelah makan di warung itu. Saya memesan nasi goreng Hong Kong bersama ayam goreng saus tiram. Baru kali ini saya benar-benar merasakan yang namanya paprika. Rasanya aneh, pantas saja kalau Sinchan tidak terlalu menyukai sayuran yang satu ini.

Karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan jalan dengan wanita cantik, saya lalu mengajak Fina untuk mengunjungi museum House of Sampoerna yang pernah dia ceritakan dulu. Alasan saya waktu itu: pengin beli kaos.

Ketika masuk museum, kami langsung disergap bau-bauan tembakau dan cengkeh. Gedung yang bersih, pencahayaan yang bagus, ditambah penjaga museum yang cakep adalah hal-hal yang saya tangkap selama di museum itu.

Sedikit saran, harga kaos di counter terlalu mahal menurut saya. Dulu, saya beli kaos bergambar Dayak di Martapura harganya cuma 20 ribu, tapi kaos yang dijual di museum ini harganya berkisar 80 ribu – 120 ribu. Tapi karena saya sudah bilang kalau saya ingin beli kaos, akhirnya ya saya beli juga. Gengsi lebih berbicara daripada akal sehat.

Dan karena kami bukan muhrim, maka sebelum jam 9 malam kami bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang itu saya katakan kepada Fina kalau Surabaya itu lebih dingin daripada Semarang.

“Kalau Semarang panas banget Fin…”, kata saya.

“Ya iya lah…kan kita dari tadi pakai AC…”, kata Fina.

“Iya juga ya…”, pikir saya. Memang, semenjak dari bandara, terus naik mobilnya dr Freddy, terus tiduran di rumah dr Freddy, terus naik mobilnya Fina, semuanya memakai AC. Kawan, keesokan harinya badan saya agak meriang.

Pelajaran di Bus

Saat saya sedang duduk di bus Jurusan Solo-Wonogiri, ada beberapa kejadian yang cukup menarik perhatian saya.

Kejadian pertama, beberapa kuli membantu seorang bapak mengangkut barang bawaannya. Sesampainya di bus, bapak tadi memberi uang 2000 rupiah.

“Kurang pak”, kata kuli.

“Memangnya ongkosnya berapa sih?”, kata si bapak.

“7000 pak”.

“Mahal amat! Nih tak kasih 5000 aja!”

“Kurang 2000 pak”, kata kuli setengah memaksa.

“Ya udah…ini tak tambahi 1000 lagi. Udah cukup kan?”

“Kurang 1000 pak”, kata kuli sambil sedikit mendorong-dorong si bapak. Akhirnya, si bapak memberi juga tambahan uang 1000 rupiah. Kesimpulan: hidup di Jawa itu keras.

Kejadian kedua, dua anak ingusan yang membawa gitar berukuran kecil masuk ke dalam bus. Mereka membawakan sebuah lagu yang tidak asing lagi. Liriknya kira-kira begini: “jauh kau pergi…meninggalkan dirikuuu…dst…dst…”. Kesimpulan: untuk mengamen di Jawa, tidak perlu suara merdu.

Ketiga, seorang lelaki dari desa bertanya kepada kondektur bus.

“Bus ini nanti lewat Rumah Sakit Jebres kan?”

“Iya”, jawab kondektur.

Setengah jam berlalu, dan bus sudah sampai di daerah Gading.

“Rumah Sakit Jebres-nya masih lama to pak?”, tanya orang desa.

“Yaaaahhh…udah lewat dari tadi pak…Bapak ini gimana sih?”

Orang desa pun kebingungan. Kesimpulan: malu bertanya sesat di jalan, banyak bertanya memang memalukan….tapi itu lebih baik daripada tersesat kan?

Keempat, seorang lelaki ganteng mempromosikan sebuah alat kerik. Kata dia, bahannya dari stainless steel dan tidak melukai kulit. Selain itu, bagi yang membeli alat tersebut akan mendapatkan hadiah langsung berupa gambar lokasi titik-titik refleksi di telapak tangan dan kaki. Karena presentasinya menyakinkan maka prediksi saya: akan banyak barang yang terjual. Kenyataan yang terjadi: tidak satu pun penumpang yang membeli barang dagangannya.

Saya jadi ingat saat kelas 1 SMA dulu. Seorang guru pernah memberi tugas kepada kami para murid untuk menuliskan sebuah kata mutiara pada selembar kertas karton. Saat itu, saya menulis: “Hidup Tidak lah Mudah, Kita Harus Terus Belajar”. Itulah kesimpulan saya yang terakhir.

***

Happy Birthday Myspace Comments
MyNiceSpace.com

Oh iya, hari ini saya ulang tahun yang ke-26. Bagi yang ingin mengucapkan selamat bisa meninggalkannya di box komentar (ngarep.com sambil menengadahkan tangan...hahaha...).

Kamis, 18 September 2008

Antara Kapuas Dan Wonogiri | part 1


Postingan ini saya tulis ketika naik bus ‘EKA’ jurusan Surabaya-Solo-Jogja. Waktu enam jam yang harus saya tempuh untuk sampai ke Terminal Tirtonadi Solo bukanlah waktu yang singkat. Dan saya terlalu terjaga untuk bisa tidur. Saya duduk di baris kedua, deret sebelah kiri. Posisi favorit saya sebenarnya adalah baris pertama sebelah kanan, tepatnya di belakang sopir. Tapi sayangnya sudah diisi orang.

Ok…postingan ini akan saya mulai dari kisah seorang anak manusia, kira-kira 19 tahun yang lalu.

Sebelum tinggal di rumah yang ditempati orang tua saya sekarang, saya tinggal di sebuah rumah reyot yang didirikan di atas tanah sewaan. Kata ayah saya, tanah itu bukan milik keluarga kami, tapi cuma menyewa dari PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api, sekarang berubah nama menjadi PT KAI – Kereta Api Indonesia). Rumah saya dulu memang berlokasi di pinggir rel kereta api. Karena bukan tanah pribadi, otomatis kami tidak bisa menjualnya dan kemungkinan terburuk untuk seorang penyewa seperti kami adalah penggusuran paksa.

Di rumah itulah saya tinggal selama 12 tahun. Rumah saya waktu itu memang sudah memakai tembok batu bata, namun tingginya hanya satu meter dari permukaan tanah. Sisanya dibangun dengan kayu triplek.

Selain dihuni oleh empat orang manusia udik, rumah itu juga dihuni oleh spesies lain, macam tikus, ular, laba-laba, dan kecoak. Hingga umur tujuh tahun, saya masih tidur bersama ibu saya. Saya tidur di kamar sendiri pun sebenarnya adalah suatu keterpaksaan: adik saya lahir. Dan sudah menjadi kebiasaan saya di waktu kecil, saya membayangkan banyak hal sebelum tidur. Mulai dari berpetualang dengan karavan ke berbagai tempat, hingga naik pesawat terbang, sesuatu yang sepertinya tidak mungkin saat itu. Pastilah sangat menyenangkan ya bila kita bisa melihat daratan dari tempat yang sangat tinggi, bisa melihat awan-awan…oh mungkin kah?

Dan ternyata butuh waktu 19 tahun untuk mewujudkan satu mimpi menjadi kenyataan. Kemarin, saat saya turun di bandara Djuanda Surabaya, adalah penerbangan saya yang kelima dalam enam bulan terakhir.

Pelajaran moral ke sepuluh: jangan pernah berhenti bermimpi. Kata orang bijak yang berbunyi “kegagalan yang sebenarnya itu bukan lah karena kegagalan meraih mimpi, tapi kegagalan yang sebenarnya adalah kegagalan untuk bermimpi” sepertinya benar.

Pun, penerbangan kali ini bukanlah suatu penerbangan yang menyenangkan menurut saya. Penyebab pertama adalah kondisi jiwa yang sedang labil saat itu. Di bandara, tiket saya sempat hilang. Dicari di kantong celana tidak ada, di saku baju tidak ada, di tas tidak ada,di dompet…juga tidak ada. Padahal, pesawat sudah mau berangkat. Sempat punya pikiran, “Haruskah saya membeli tiket lagi, padahal harga tiket menjelang lebaran kan mahalnya minta ampun…Apakah tidak jadi mudik saja?Oh my God…”. Meski akhirnya tiket ditemukan di ‘suatu tempat yang tak diduga’, tetap saja mood saya drop saat naik pesawat.

Penyebab yang kedua, pramugari yang kurang menarik!! Pesan untuk Mandala Air: pramugari kalian masih kalah menarik dengan pramugarinya Sriwijaya Air. Lain kali, jika ingin merekrut pramugari pilihlah wanita yang cantik dan sedikit montok. Sedangkan kesan untuk Mandala Air: sumpah, buku kalian yang berisi tentang informasi perwisataan Indonesia itu fotonya bagus-bagus. Satu jam perjalanan Banjarmasin – Surabaya saya habiskan dengan memelototi majalah itu.

Dan yang penyebab yang ketiga adalah banyaknya orang yang mabuk saat itu. Aih…

Di bandara, saat sedang menunggu koper dari bagasi pesawat, saya mendapat SMS dari seorang blogger Surabaya, Elfina namanya. Dia memberitahu saya kalau dia sedang menunggu saya di luar. Memang, jauh-jauh hari, kami telah merencanakan pertemuan ini.

“Halo…kamu dimana?”, tanya saya lewat handphone sambil memandang sekeliling.

“Di depan kafe A Mild”

“Ok, saya kesana…Tunggu di sana ya…”, kata saya.

Dan dari kejauhan, saya tahu bahwa itu dia, Elfina: mahasiswi Unair, cantik dan berambut lurus panjang tentunya. Ehm…

Saat itu saya bersama kolega saya, dr Freddy. Rencana saya sebelumnya memang dijemput Fina di bandara, tapi berhubung saya ingin menginap di rumah dr Freddy jadinya saya dengan terpaksa meng-cancel jemputan Fina.

“Aduh…Maaf ya Fin…Aku nanti ikut ke rumah dr Freddy dulu ya…Di Margorejo…Kamu tahu gak lokasi Perumahan Margorejo?, tanya saya.

Dia bilang kalau dia tahu, tapi tidak terlalu hafal daerah itu.

“Terus, kita nanti enaknya ketemuan lagi dimana ya Fin?”, tanya saya.

“Di Plasa Marina aja”, usul dr Freddy.

“Bagaimana kalau di Plasa Marina. Kamu tahu kan?”, tanya saya.

“Ya tahu lah…”, kata Fina.

“Ok. Nanti tak kabari lagi…Maaf ya Fin, dah merepotkan kamu…”, kata saya.

Dan kami pun berpisah. Saya lalu bersalaman dengan Fina…(emm, tekstur kulitnya halus lho….dan sedikit basah...hehe…). Saya ikut dengan mobil kijang yang dikendarai oleh kakak dr Freddy. Dalam perjalanan, saya tanya ke dr Freddy.

“Bagaimana menurut dokter wanita yang tadi?”

Dr Freddy tersenyum. Rupanya dia sedang memilih kalimat yang pas.

“Dia kelihatannya baik”, kata dr Freddy.

Saya ikut tersenyum. Ya, Fina memang baik, dan cantik.

Jumat, 05 September 2008

Chapter 26: Man From Java, Woman From Dayak*



Jika Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki rencana untuk membangun sebuah Taman Jurrasic, maka saya memiliki sebuah usulan yang layak untuk diperhatikan: bangunlah kandang Brontosaurus* di areal antara Kapuas dan Palangkaraya. Di daerah tersebut masih banyak sekali lahan yang terbengkalai, banyak tumbuhan dan tentu saja belum dihuni oleh manusia.

Kapuas-Palangkaraya dihubungkan oleh sebuah jalan bernama Trans Kalimantan. Jaraknya sekitar 135 km, atau dua kali jarak Kapuas-Banjarmasin yang ‘hanya’ 60 km. Kanan kiri jalan hanya ditumbuhi oleh tumbuhan liar. Seingat saya, hanya ada satu POM bensin di jalur ini, tepatnya di Kabupaten Pulang Pisau. Jadi, kalau bisa Anda membeli bensin di Kapuas dului bila handak tulak ke Palangkaraya dari Kapuas. Mogok di tengah jalan artinya petaka! Mungkin Anda harus berjalan berkilo-kilo meter untuk menemukan rumah yang dihuni manusia. Pelajaran moral yang ke delapan khusus ditujukan kepada admin blog ini: bila ingin bepergian ke Palangkaraya naik travel saja…kalau masih nekat naik sepeda motor, resiko tanggung sendiri!

Nah, sebelum sampai di Palangkaraya, Anda akan melewati sebuah jembatan yang lumayan panjang, Tumbang Nusa namanya. Jaraknya, menurut hitungan speedo meter trail saya, sekitar 7 km. Konon, jembatan ini dibangun karena jalan yang dibangun di tempat tersebut tidak pernah tahan lama oleh karena tanah di bawahnya adalah tanah gambut.

Kawan, hari itu sebenarnya saya tak terlalu berminat pergi ke Palangkaraya, apalagi cuma untuk menemui seorang blogger: sebuah alasan yang dibuat-buat untuk bolos kerja. Tapi ada beberapa alasan kenapa kemudian saya membulatkan tekad bepergian ke Palangkaraya seorang diri.

Pertama, mengikuti falsafah “sekali-kali”: sekali-kali naik motor ke Palangkaraya. Sebuah falsafah yang terkadang bisa melipat gandakan nyali ini didukung oleh data dari teman saya di kampung Terusan bahwa di sekitar jalan nantinya banyak rumah dan banyak POM bensin. Belakangan, akhirnya saya tahu bahwa informasi itu menyesatkan.

Kedua, kondisi cuaca sedang bersahabat. Premis pertama:Walaupun di Kalimantan sedang musim kemarau, tapi nyatanya hujan turun hampir setiap hari. Premis kedua: Dua kali kecelakaan yang saya alami di Jawa, semua terjadi saat hujan turun. Kesimpulan: Saya sedapat mungkin menghindari trek basah.

Ketiga, mencoba motor baru. Motor trail merek Yamaha ini adalah warisan Pak Pur yang baru saja pindah ke Sei Tatas. Dilihat dari posisi setangnya sepertinya sangat nyaman bila dipakai untuk touring. Begitu menggoda untuk dicoba.

Dan sesampainya di Palangkaraya, mendung pun menggantung dan September tak lagi ceria.

Piyek

Piyek si anak ayam, itulah nama blogger yang saya temui kali ini. Profesinya guru di sebuah institusi pendidikan paling terkenal se-Palangkaraya. Mirip dengan tipikal cewek Dayak pada umumnya: berkulit putih, berwajah cantik, dan satu lagi yang bikin saya geleng-geleng kepala…Ya Tuhan, dia berambut lurus panjang! Tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta bukan?

Saya tentu tidak tahu apakah dia menikmati percakapan kami yang dua jam itu atau malah jenuh bukan buatan. Ekspresi cewek terkadang menipu. Tapi asal kalian tahu saja Kawan, saya sebenarnya tidak ingin dia pulang malam itu. Saya ingin ngobrol dengannya hingga imsak, meskipun harus menghabiskan 50 tongkol jagung bakar.

Tapi saya juga tidak ingin mengulang kesalahan seperti tahun-tahun sebelumnya, membiarkan cewek bukan muhrim pulang di atas jam 9 malam. Ingat lagunya Slank kan? “Kamu harus…cepat pulang…jangan terlambat sampai di rumah…”. Ow yeah…

Parfum piyek sepertinya saya tahu namanya, tapi lupa. Bau parfum yang sampai saya mau tidur pun masih terasa. Oh, sungguh malam yang berkesan, susah tidur pula.

Dan berita buruk pun datang saat saya bertanya kepadanya apakah dia sudah punya kekasih atau belum. Tahukah Kawan, saya memiliki 114 prinsip dalam bercinta. Dan prinsip nomor 94 berbunyi: “jangan merebut kekasih orang!”

Saya pernah ‘ditusuk dari belakang’ oleh teman saya sendiri. Dan itu sakit.

* Soundtrack untuk chapter ini adalah lagu Hitamku yang dibawakan oleh Andra and The Backbone.
** Brontosaurus adalah dinosaurus yang mempunyai leher sangat panjang dan termasuk dinosaurus herbivora. Diperkirakan hidup di zaman kapur. Habitatnya biasanya di tepi danau dan di hutan.

Selasa, 24 Juni 2008

Festival Budaya Pasar Terapung 2008



Meskipun matahari bersinar terik, tapi ratusan jukung yang ditumpangi oleh para pedagang, yang semuanya wanita, tetap tak beranjak dari Sungai Martapura. Jukung adalah perahu kecil tempat para pedagang pasar terapung menjajakan barang dagangan yang umumnya adalah buah-buahan, mulai dari pisang, jeruk, kelapa, hingga tanaman cabe dalam pot.

Ibu-ibu itu memakai tanggui, semacam caping lebar, yang merupakan ciri khas Kalimantan Selatan. Jukung-jukung itu diberi nomor tanda peserta, dimana masyarakat bisa berpartisipasi dalam pemilihan jukung favorit melalui polling yang diadakan via SMS.

Itulah salah satu kegiatan yang mewarnai Festival Budaya Pasar Terapung 2008 yang diadakan di sepanjang Sungai Martapura pada tanggal 21-22 Juni 2008.

Beragam tarian, atraksi dan musik ditampilkan dalam festival budaya tahunan ini. Diantaranya adalah atraksi Titi Tali dari Kabupaten Kotabaru. Seorang lelaki berjalan di atas seutas tali yang dibentangkan bak pemain sirkus. Tentunya dibutuhkan keseimbangan yang luar biasa untuk melakukannya. Pasien vertigo tentu saja tidak diperbolehkan mencoba melakukan atraksi ini di rumah.



Lalu ada juga atraksi Naik Batang Pohon Enau Berduri dari Kabupaten Tabalong. Atraksi ini diiringi oleh enam penari wanita cantik dari suku Dayak Diyah yang bekostum kuning-hitam. Sungguh mempesona!

Tak kalah seru adalah kesenian Hadrah yang ditampilkan secara kolosal dalam bentuk barisan yang biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar Islam dan menyambut tamu negara. Peralatan musik tradisional dibuat dari bahan alam seperti kayu, bambu, kulit binatang dan serat tanaman. Sifat lentur, seratnya yang kuat, serta keuletan dari bahan yang digunakan dapat memungkinkan peralatan musik dibentuk untuk menghasilkan bunyi-bunyian yang membahana.

Stand dari kabupaten Tapin berbentuk miniatur rumah Banjar, yang dipenuhi wayang Banjar dengan berbagai tokohnya serta topeng yang sering dipakai dalam pertunjukan wayang orang.

Di lapangan rumput, terdapat beberapa orang sedang bermain gasing dan egrang. Dua permainan tradisional yeng semakin jarang ditemui seiring merebaknya Playstation dan game online.



Bagi para pecinta kuliner, banyak makanan asli Banjar yang bisa dicoba. Mulai dari Ketupat Kandangan, Lontong, Soto Banjar hingga bemacam ikan mulai dari ikan haruan sampai ikan patin, semuanya ada. Ada juga wadai (kue) Banjar yang nikmat, diantaranya Amparan Tatak, Bingka Barandan hingga Kue Cincin. Pokoke…mak nyusss….

Recent Comments