20.30 : IGD heboh.Aku heran,setiap kali jadwal jagaku hampir habis,sering datang pasien yang sakitnya aneh-aneh.
Pasien wanita muda umur 27 tahun datang dengan sesak nafas.Nafasnya cepat dan kepayahan.Dia juga merasa dadanya terasa panas,perutnya nyeri.Banyak juga yang mengantar,semuanya panik.
"Dia punya sakit lemah jantung dok",kata salah satu keluarga pasien.
Tanda-tanda vital dalam batas normal.Pasang oksigen,pasang infus.Auskultasi.Wheezing,negatif.Suara vesikuler,terdengar di seluruh lapang paru.Bagus.Jantung..mmm..bagus juga.
"Punya riwayat asma?"
"Tidak"
"Kejang?"
"Iya"
"Pernah sakit seperti ini sebelumnya?"
"Pernah,sama persis dok.Sebulan yang lalu,masuk rumah sakit.Kalau kaget mesti jadinya seperti ini"
Asma negatif.Pneumothorax negatif.Infark miokard?Kemungkinan terjadi pada wanita muda sangat kecil.Periksa EKG,berantakan.Tapi sekilas kubaca sepertinya dalam batas normal.Diagnosa sementara,histeria konversi.
Kutulis di lembar instruksi : Injeksi antalgin 1 ampul.Injeksi ranitidin 1 ampul.Alprazolam 2x0,5 mg.Observasi.
Histeria konversi..
Sangat sulit membedakan apakah itu histeri ataukah benar-benar ada gangguan organik.Gejala histeri kadang begitu seriusnya,sampai semuanya heboh.Mulai dari gemetaran,gerakan tertentu,kram,atau yang lebih dramatis lagi kelumpuhan anggota badan dan kejang.Kadang kala seperti kerasukan setan,ditusuk jarum tidak menghindar,karena memang tak merasakan sakit.Mirip kesurupan.Mungkin histeria konversi dan kesurupan itu satu hal yang sama.
Empat tahun lalu,saat aku menjadi tim medis gempa Jogja,aku juga pernah melihat hal serupa.Bedanya,pasien adalah seorang pria umur 40 tahun.Matanya melotot,seluruh badannya kaku.Kuukur tanda-tanda vital,normal.Seseorang berinisiatif membacakan ayat-ayat suci,dan ajaib,dia sadar kembali.
21.15 : Keadaan umum pasien membaik.EKG diulang,hasilnya normal.Caroline,dokter penggantiku,sudah datang.Aku jelaskan kondisi pasien berikut obat-obatan yang sudah masuk.OK,beres.Pulang..
Quote
Be thankful for what you have; you'll end up having more. If you concentrate on what you don't have, you will never, ever have enough.
~ Oprah Winfrey
Tampilkan postingan dengan label RS SMS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RS SMS. Tampilkan semua postingan
Kamis, 25 Maret 2010
Minggu, 21 Maret 2010
Kejang Demam dengan Penurunan Kesadaran
Anak dan Obgyn.Dua pelajaran yang paling kubenci saat kuliah dulu.Nilaiku juga tak terlalu istimewa pada dua pelajaran itu.Aku tidak berniat me-make up nilainya.Buat apa,toh aku tak ada niatan untuk melanjutkan ke spesialisasi anak atau pun obgyn.
Dan sesuai dengan hukum aksi-reaksi,sesuatu yang kamu benci niscaya akan mengejarmu.Tidak mau berurusan dengan anak kecil dan perempuan hamil,dapat kasusnya malah melulu itu.Tentu kita harus berprasangka baik pada Tuhan.Dengan kasus-kasus itu semoga saja aku bisa kembali belajar,menutupi kekuranganku selama ini.
Tiga kali jaga yang terakhir,tiga anak datang,tiga-tiganya kejang demam,dan semuanya diikuti penurunan kesadaran.Kejang,bila tanpa demam,bisa saja epilepsi,yang mana setelahnya biasanya pasien mengantuk.Kalau kejang dengan demam lalu mengantuk?Rasanya ada yang tidak wajar di otaknya.Kasus yang terakhir malah disertai riwayat trauma kepala sebelumnya.Mana tidak ada CT scan di tempat kami.Sial.
Pasien pertama adalah anak wanita umur 5 tahun.Datang dengan tidak sadarkan diri.Dipanggil namanya tak ada respon.Dicubit cuma bergerak sedikit.Anak ini panas sejak satu hari sebelumnya,lalu kejang tiga jam yang lalu,setelah itu tak sadarkan diri.Aku memberinya terapi injeksi cefotaxim,injeksi antalgin dan paracetamol,setelah konsultasi dengan dokter spesialis anak yang akan merawat anak itu.Kumasukkan ke PICU supaya bisa dimonitor dengan lebih baik.Pasien itu membaik kesadarannya keesokan harinya,berdasar informasi dari Tomi,perawatku.
Pasien kedua datang dari luar kota.Keluarga pasien saat itu sedang liburan.Mendadak,anak lelaki mereka yang berusia 2,5 tahun kejang,lalu kesadarannya menurun,mirip orang mengantuk.Keluarganya panik lalu membawanya ke rumah sakit.Anak ini,setiap kubangunkan dia bangun,tapi begitu aku pergi,tidur lagi.Aku datang,dia bangun,aku pergi,dia tidur.Begitu terus.Aku lalu mendudukkannya,dia bangun.Aku minta ibunya untuk menggendongnya supaya dia tetap bangun.Suhu badannya 39 derajat.Kuberi dia sirup paracetamol,lalu kurujuk,atas permintaan keluarga.
Pasien ketiga,anak wanita berumur 4 tahun.Datang jauh-jauh dari desa,yang di dalam peta entah tercantum namanya atau tidak.Datang dalam kondisi setengah sadar.Dicubit bangun,tidak menangis,lalu tidur lagi.Suhu badannya 38 derajat.Lima jam sebelumnya kepala terbentur,kata ibunya,terus dikeroki.Telat makan,kata pamannya,entahlah.Anak itu sempat pingsan dan kejang.Pertanda buruk.Pasang oksigen,pasang infus.Aku menganjurkannya untuk dirujuk,supaya bisa dilakukan CT scan.Keluarganya menolak.Gawat.Kuberi sirup paracetamol,lalu kumasukkan bangsal untuk observasi.Selanjutnya,berdoa.
Kukunjungi anak itu keesokan harinya.Kulihat sepintas,bangsal anak hampir penuh.Biasa,musim demam berdarah.Aku tanya ke perawat dimana anak yang cedera kepala dirawat.Waktu aku menemukan anak itu,ternyata baru makan bubur,disuapi oleh ibunya.Rambutnya disisir rapi.Cantik sekali.
Buka buku..
Kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun.Ada dua macam,kejang demam sederhana dan kompleks.Dikatakan kejang demam sederhana jika kejang yang terjadi bersifat menyeluruh,berlangsung tak lebih dari 15 menit dan kejang hanya terjadi satu kali dalam 24 jam.Apabila salah satu di antara tiga ciri kejang demam sederhana tidak terpenuhi,maka kejang demam disebut kejang demam kompleks.
Sudah kubilang kan?Maksud Tuhan baik,supaya aku buka buku untuk belajar ilmu kesehatan anak lagi.Nah,pertanyaannya,bagaimana bila terjadi penurunan kesadaran setelah kejang demam?Apakah berbahaya?Belum tentu.Anak tertidur setelah kejang demam masih dikatakan normal,dan biasanya kurang dari satu jam.Apabila setelah dua jam masih tertidur,baru lah dipikirkan kemungkinan adanya ensefalitis dan atau meningitis.
Dan sesuai dengan hukum aksi-reaksi,sesuatu yang kamu benci niscaya akan mengejarmu.Tidak mau berurusan dengan anak kecil dan perempuan hamil,dapat kasusnya malah melulu itu.Tentu kita harus berprasangka baik pada Tuhan.Dengan kasus-kasus itu semoga saja aku bisa kembali belajar,menutupi kekuranganku selama ini.
Tiga kali jaga yang terakhir,tiga anak datang,tiga-tiganya kejang demam,dan semuanya diikuti penurunan kesadaran.Kejang,bila tanpa demam,bisa saja epilepsi,yang mana setelahnya biasanya pasien mengantuk.Kalau kejang dengan demam lalu mengantuk?Rasanya ada yang tidak wajar di otaknya.Kasus yang terakhir malah disertai riwayat trauma kepala sebelumnya.Mana tidak ada CT scan di tempat kami.Sial.
Pasien pertama adalah anak wanita umur 5 tahun.Datang dengan tidak sadarkan diri.Dipanggil namanya tak ada respon.Dicubit cuma bergerak sedikit.Anak ini panas sejak satu hari sebelumnya,lalu kejang tiga jam yang lalu,setelah itu tak sadarkan diri.Aku memberinya terapi injeksi cefotaxim,injeksi antalgin dan paracetamol,setelah konsultasi dengan dokter spesialis anak yang akan merawat anak itu.Kumasukkan ke PICU supaya bisa dimonitor dengan lebih baik.Pasien itu membaik kesadarannya keesokan harinya,berdasar informasi dari Tomi,perawatku.
Pasien kedua datang dari luar kota.Keluarga pasien saat itu sedang liburan.Mendadak,anak lelaki mereka yang berusia 2,5 tahun kejang,lalu kesadarannya menurun,mirip orang mengantuk.Keluarganya panik lalu membawanya ke rumah sakit.Anak ini,setiap kubangunkan dia bangun,tapi begitu aku pergi,tidur lagi.Aku datang,dia bangun,aku pergi,dia tidur.Begitu terus.Aku lalu mendudukkannya,dia bangun.Aku minta ibunya untuk menggendongnya supaya dia tetap bangun.Suhu badannya 39 derajat.Kuberi dia sirup paracetamol,lalu kurujuk,atas permintaan keluarga.
Pasien ketiga,anak wanita berumur 4 tahun.Datang jauh-jauh dari desa,yang di dalam peta entah tercantum namanya atau tidak.Datang dalam kondisi setengah sadar.Dicubit bangun,tidak menangis,lalu tidur lagi.Suhu badannya 38 derajat.Lima jam sebelumnya kepala terbentur,kata ibunya,terus dikeroki.Telat makan,kata pamannya,entahlah.Anak itu sempat pingsan dan kejang.Pertanda buruk.Pasang oksigen,pasang infus.Aku menganjurkannya untuk dirujuk,supaya bisa dilakukan CT scan.Keluarganya menolak.Gawat.Kuberi sirup paracetamol,lalu kumasukkan bangsal untuk observasi.Selanjutnya,berdoa.
Kukunjungi anak itu keesokan harinya.Kulihat sepintas,bangsal anak hampir penuh.Biasa,musim demam berdarah.Aku tanya ke perawat dimana anak yang cedera kepala dirawat.Waktu aku menemukan anak itu,ternyata baru makan bubur,disuapi oleh ibunya.Rambutnya disisir rapi.Cantik sekali.
Buka buku..
Kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun.Ada dua macam,kejang demam sederhana dan kompleks.Dikatakan kejang demam sederhana jika kejang yang terjadi bersifat menyeluruh,berlangsung tak lebih dari 15 menit dan kejang hanya terjadi satu kali dalam 24 jam.Apabila salah satu di antara tiga ciri kejang demam sederhana tidak terpenuhi,maka kejang demam disebut kejang demam kompleks.
Sudah kubilang kan?Maksud Tuhan baik,supaya aku buka buku untuk belajar ilmu kesehatan anak lagi.Nah,pertanyaannya,bagaimana bila terjadi penurunan kesadaran setelah kejang demam?Apakah berbahaya?Belum tentu.Anak tertidur setelah kejang demam masih dikatakan normal,dan biasanya kurang dari satu jam.Apabila setelah dua jam masih tertidur,baru lah dipikirkan kemungkinan adanya ensefalitis dan atau meningitis.
Kamis, 04 Maret 2010
Centang Perenang
Saat itu sudah petang.Ada dua pasien yang baru saja datang ke IGD,kelihatannya tidak terlalu gawat.Aku pun menyempatkan diri untuk sholat maghrib.Sebelum petang,pasien yang datang tidak terlalu banyak.Dan aku berharap semoga setelah petang pun juga demikian,setidaknya sampai jam jagaku selesai.Namun ternyata tidak.
Setelah selesai sholat,aku langsung memeriksa pasien.Ada dua pasien,satu pasien dewasa dan satu lagi pasien anak.Dua-duanya memiliki keluhan yang sama yaitu panas.Akhir-akhir ini memang rumah sakit kebanjiran pasien demam berdarah.Pasien datang biasanya sudah membawa hasil lab darah dengan kadar trombosit di bawah normal.
Selesai memeriksa pasien dewasa dan hendak memeriksa pasien anak tiba-tiba datang banyak orang membawa tiga orang pasien sekaligus.Sepintas kulihat satu orang pasien kepalanya bersimbah darah,satu orang yang menangis dan satu orang yang kedua matanya lebam.Yang paling parah adalah pasien yang kepalanya bersimbah darah.Kesadarannya menurun.
Saat itu aku bekerja dengan dibantu tiga orang perawat.Perawat pertama,Tomi,sedang memasang infus pada pasien dewasa yang panas,jadi tinggal dua yang tersisa.Perawat kedua,Dewi,kemudian kutugasi untuk menangani pasien yang paling berat.Perawat kami sangat terlatih sehingga untuk kasus gawat seperti ini mereka tidak panik.Mereka tahu bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah membebaskan jalan nafas dengan memasang guedel,mengalirkan oksigen lalu memasang infus.Perawat ketiga,Budi,menangani pasien yang matanya lebam.Ternyata banyak luka robek,sehingga dia sibuk untuk membersihkan dan menjahit luka.
Pasien yang menangis ternyata tak kalah gawatnya.Kesadarannya juga menurun.Kepalanya robek di bagian belakang.Belakangan juga diketahui kalau sebelah kakinya patah tulang.Selesai memasang infus pasien panas yang dewasa,Tomi langsung menangani pasien itu.
Masih ada satu pasien,yaitu anak dengan keluhan panas,tapi tidak ada lagi perawat yang tersisa.Tak cuma itu,datang pasien stroke.Lalu pasien asma.Lalu pasien yang minta pemeriksaan EKG.Lalu pasien yang lehernya digigit kalajengking.Lalu datang lagi pasien demam berdarah.Lalu datang lagi dua pasien mengerang kesakitan karena kecelakaan.Sialan.
Dokter punya hak untuk memobilisasi perawat dalam satu rumah sakit,dan itulah salah satu bagian yang paling kusukai.Aku merasa gagah,akhirnya.Dokter punya hak untuk meminta perawat bangsal menjadi tenaga perawat tambahan di IGD,jika memang diperlukan.Dan itulah yang kemudian kulakukan.Kutelfon bangsal satu per satu.
Datang seorang perawat.Kuminta dia untuk menangani pasien asma.Asma jadi prioritas karena melibatkan jalan napas,sehingga harus sesegera mungkin ditangani.Kutanya apakah dia bisa mengoperasikan nebulizer,ternyata bisa.Syukurlah.
Datang lagi seorang perawat.Kuminta dia untuk menangani pasien stroke.Demikian seterusnya.Setiap perawat yang baru datang langsung kuarahkan untuk menangani satu pasien.Saat itu,ruangan lebih mirip pasar daripada IGD,saking banyaknya orang di dalamnya.
Pasien kecelakaan yang mengalami penurunan kesadaran akhirnya kami rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas CT Scan.Maksudnya supaya dapat tertangani dengan lebih baik.Tanpa CT Scan,aku tidak bisa menentukan diagnosis yang tepat.Apakah terjadi perdarahan otak atau tidak,dan bila terjadi perdarahan lokasinya juga tidak bisa diketahui: apakah di epidural,subarachnoid atau di intracerebral.Tanpa diagnosis yang tepat,terapinya juga tidak akan maksimal.
Aku melirik jam,ternyata sudah jam 9 malam.Serta merta datang lagi seorang pasien dengan retensi urin.Oh tidak.
Setelah selesai sholat,aku langsung memeriksa pasien.Ada dua pasien,satu pasien dewasa dan satu lagi pasien anak.Dua-duanya memiliki keluhan yang sama yaitu panas.Akhir-akhir ini memang rumah sakit kebanjiran pasien demam berdarah.Pasien datang biasanya sudah membawa hasil lab darah dengan kadar trombosit di bawah normal.
Selesai memeriksa pasien dewasa dan hendak memeriksa pasien anak tiba-tiba datang banyak orang membawa tiga orang pasien sekaligus.Sepintas kulihat satu orang pasien kepalanya bersimbah darah,satu orang yang menangis dan satu orang yang kedua matanya lebam.Yang paling parah adalah pasien yang kepalanya bersimbah darah.Kesadarannya menurun.
Saat itu aku bekerja dengan dibantu tiga orang perawat.Perawat pertama,Tomi,sedang memasang infus pada pasien dewasa yang panas,jadi tinggal dua yang tersisa.Perawat kedua,Dewi,kemudian kutugasi untuk menangani pasien yang paling berat.Perawat kami sangat terlatih sehingga untuk kasus gawat seperti ini mereka tidak panik.Mereka tahu bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah membebaskan jalan nafas dengan memasang guedel,mengalirkan oksigen lalu memasang infus.Perawat ketiga,Budi,menangani pasien yang matanya lebam.Ternyata banyak luka robek,sehingga dia sibuk untuk membersihkan dan menjahit luka.
Pasien yang menangis ternyata tak kalah gawatnya.Kesadarannya juga menurun.Kepalanya robek di bagian belakang.Belakangan juga diketahui kalau sebelah kakinya patah tulang.Selesai memasang infus pasien panas yang dewasa,Tomi langsung menangani pasien itu.
Masih ada satu pasien,yaitu anak dengan keluhan panas,tapi tidak ada lagi perawat yang tersisa.Tak cuma itu,datang pasien stroke.Lalu pasien asma.Lalu pasien yang minta pemeriksaan EKG.Lalu pasien yang lehernya digigit kalajengking.Lalu datang lagi pasien demam berdarah.Lalu datang lagi dua pasien mengerang kesakitan karena kecelakaan.Sialan.
Dokter punya hak untuk memobilisasi perawat dalam satu rumah sakit,dan itulah salah satu bagian yang paling kusukai.Aku merasa gagah,akhirnya.Dokter punya hak untuk meminta perawat bangsal menjadi tenaga perawat tambahan di IGD,jika memang diperlukan.Dan itulah yang kemudian kulakukan.Kutelfon bangsal satu per satu.
Datang seorang perawat.Kuminta dia untuk menangani pasien asma.Asma jadi prioritas karena melibatkan jalan napas,sehingga harus sesegera mungkin ditangani.Kutanya apakah dia bisa mengoperasikan nebulizer,ternyata bisa.Syukurlah.
Datang lagi seorang perawat.Kuminta dia untuk menangani pasien stroke.Demikian seterusnya.Setiap perawat yang baru datang langsung kuarahkan untuk menangani satu pasien.Saat itu,ruangan lebih mirip pasar daripada IGD,saking banyaknya orang di dalamnya.
Pasien kecelakaan yang mengalami penurunan kesadaran akhirnya kami rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas CT Scan.Maksudnya supaya dapat tertangani dengan lebih baik.Tanpa CT Scan,aku tidak bisa menentukan diagnosis yang tepat.Apakah terjadi perdarahan otak atau tidak,dan bila terjadi perdarahan lokasinya juga tidak bisa diketahui: apakah di epidural,subarachnoid atau di intracerebral.Tanpa diagnosis yang tepat,terapinya juga tidak akan maksimal.
Aku melirik jam,ternyata sudah jam 9 malam.Serta merta datang lagi seorang pasien dengan retensi urin.Oh tidak.
Rabu, 17 Februari 2010
Syok Anafilaktik
Seorang pasien wanita berumur 50 tahun datang diantar oleh seorang dokter.Keluarga pasien juga ikut mengantar.Kondisi pasien saat datang tidak sadarkan diri.Saat diperiksa,tekanan darahnya 70/40 dengan nadi yang kecil dan halus.Rupanya,pasien ini baru saja mendapat suntikan dari dokter yang mengantar.Pasien alergi dan mengalami syok.
Jalan nafas pasien dibebaskan dengan bantuan guedel dan dipasang selang oksigen.Oksigen dialirkan sebesar 5 liter per menit.Infus dipasang di lengan kanan sementara kaki diangkat untuk mengalirkan darah ke jantung.Adrenalin 0,5 cc diberikan secara subkutan di regio deltoid kiri.Tekanan darah diukur setelah 5 menit,tapi tetap tak beranjak naik.
Suntikan adrenalin diulang dengan dosis sama di tempat yang sama.Tekanan darah diukur lagi setelah 5 menit.Kali ini tekanan darah naik menjadi 80/60.Kesadaran pasien juga berangsur-angsur membaik.Kami semua sedikit bernafas lega dengan hal ini.
Pengukuran tekanan darah tiap 5 menit selanjutnya menunjukkan kenaikan,bahkan setelah 20 menit tekanan darah sudah mencapai 130/80.Pasien selamat!
Jalan nafas pasien dibebaskan dengan bantuan guedel dan dipasang selang oksigen.Oksigen dialirkan sebesar 5 liter per menit.Infus dipasang di lengan kanan sementara kaki diangkat untuk mengalirkan darah ke jantung.Adrenalin 0,5 cc diberikan secara subkutan di regio deltoid kiri.Tekanan darah diukur setelah 5 menit,tapi tetap tak beranjak naik.
Suntikan adrenalin diulang dengan dosis sama di tempat yang sama.Tekanan darah diukur lagi setelah 5 menit.Kali ini tekanan darah naik menjadi 80/60.Kesadaran pasien juga berangsur-angsur membaik.Kami semua sedikit bernafas lega dengan hal ini.
Pengukuran tekanan darah tiap 5 menit selanjutnya menunjukkan kenaikan,bahkan setelah 20 menit tekanan darah sudah mencapai 130/80.Pasien selamat!
Senin, 28 Desember 2009
Gejala Ekstrapiramidal Setelah Minum Metokloperamid
Aku sudah dua kali menjumpai kasus serupa. Yang pertama mengenai seorang gadis berusia 17 tahun. Sebelumnya pasien ini berobat padaku dengan keluhan mual. Saat itu kuberikan metokloperamid untuk tiga hari. Metokloperamid sendiri adalah obat mual yang sering kupakai. Hari ketiga gadis itu datang lagi, dengan kaku leher. Lehernya tertarik ke satu sisi. Ternyata, itu adalah efek ekstrapiramidal dari metokloperamid. Mulai saat itu, aku tak pernah lagi memakai metokloperamid sebagai obat mual. Sebagai gantinya aku memakai domperidon atau ondancentron yang memiliki efek ekstrapiramidal minimal.
Kasus kedua kujumpai beberapa hari yang lalu. Kali ini menimpa anak berumur 11 tahun. Datang dengan mata mendelik ke atas mirip orang kesurupan. Lehernya kaku. Kata ibu pasien, ini dimulai setelah minum obat dari A. Aku tanya, apakah sebelum pergi ke A sudah nampak gejala seperti ini.Ibunya bilang kalau memang sudah ada gejala mendelik, tapi mendeliknya ke bawah (?).
"Setelah minum obat dari A matanya jadi mendelik ke atas.Khawatir kalau kenapa-napa makanya langsung saya bawa ke sini", kata ibunya.
Kebanyakan petugas medis sudah jarang memberikan metokloperamid pada pasien anak. Lagipula obat dari A bentuknya puyer, jadi sulit untuk mengetahui kandungannya. Aku tanya lagi apakah sebelum pergi ke A, pasien sudah diperiksakan ke tempat lain. Ternyata sudah, yaitu ke B. Aku minta kepada ibu pasien supaya mengambil obat yang diberikan B. Benar saja, salah satu obat yang didapat dari B salah satunya adalah metokloperamid!
Menurut teman sejawatku, gejala ekstrapiramidal akan nampak pada pemberian metokloperamid setelah beberapa kali pemberian, hingga kadarnya dalam darah cukup untuk menimbulkan gejala yang dimaksud. Seringkali keluarga pasien menjadi panik dengan hal ini, walau pun sebenarnya, terapinya cukup mudah.
Yang penting obat penyebabnya dihentikan pemberiannya. Lambat laun gejalanya akan menghilang seiring dengan menurunnya kadar metokloperamid dalam darah. Terapi yang bisa diberikan antara lain injeksi diphenhidramin (im/iv). Kata temenku, yang penting pasien bisa tidur dulu. Biasanya, setelah tidur gejalanya sudah sedikit berkurang.
Demikian sedikit pengalaman dariku, semoga bisa bermanfaat bagi sejawat semuanya. Wassalam.
Kasus kedua kujumpai beberapa hari yang lalu. Kali ini menimpa anak berumur 11 tahun. Datang dengan mata mendelik ke atas mirip orang kesurupan. Lehernya kaku. Kata ibu pasien, ini dimulai setelah minum obat dari A. Aku tanya, apakah sebelum pergi ke A sudah nampak gejala seperti ini.Ibunya bilang kalau memang sudah ada gejala mendelik, tapi mendeliknya ke bawah (?).
"Setelah minum obat dari A matanya jadi mendelik ke atas.Khawatir kalau kenapa-napa makanya langsung saya bawa ke sini", kata ibunya.
Kebanyakan petugas medis sudah jarang memberikan metokloperamid pada pasien anak. Lagipula obat dari A bentuknya puyer, jadi sulit untuk mengetahui kandungannya. Aku tanya lagi apakah sebelum pergi ke A, pasien sudah diperiksakan ke tempat lain. Ternyata sudah, yaitu ke B. Aku minta kepada ibu pasien supaya mengambil obat yang diberikan B. Benar saja, salah satu obat yang didapat dari B salah satunya adalah metokloperamid!
Menurut teman sejawatku, gejala ekstrapiramidal akan nampak pada pemberian metokloperamid setelah beberapa kali pemberian, hingga kadarnya dalam darah cukup untuk menimbulkan gejala yang dimaksud. Seringkali keluarga pasien menjadi panik dengan hal ini, walau pun sebenarnya, terapinya cukup mudah.
Yang penting obat penyebabnya dihentikan pemberiannya. Lambat laun gejalanya akan menghilang seiring dengan menurunnya kadar metokloperamid dalam darah. Terapi yang bisa diberikan antara lain injeksi diphenhidramin (im/iv). Kata temenku, yang penting pasien bisa tidur dulu. Biasanya, setelah tidur gejalanya sudah sedikit berkurang.
Demikian sedikit pengalaman dariku, semoga bisa bermanfaat bagi sejawat semuanya. Wassalam.
Sabtu, 14 November 2009
Koma Hepatikum
Di suatu malam, seorang wanita tua berumur 70-an tahun, datang ke IGD dengan tidak sadarkan diri. Keluarga dan para tetangga mengantar ramai-ramai. Langsung saja kudekati, dengan maksud untuk memeriksa. Saat kulihat selintas, warna kulitnya kekuningan. Semakin dekat, semakin kucium bau yang tak enak. Selidik punya selidik, bau itu tak lain adalah bau tai!
“Mulai tidak sadar kapan pak?”, tanyaku pada salah satu keluarga yang mengantar.
“Sejak tadi pagi dok.”
“Malam sebelumnya masih sadar?”, tanyaku lagi.
“Masih dok. Tapi kondisinya lemah sekali. Makannya juga susah”.
Kuminta keluarga untuk mengganti dulu kain jarik yang lama dengan yang baru, sekaligus membersihkan tai yang ada dengan air. Dari kulit dan skleranya yang kekuningan, aku menduga bahwa wanita tua ini mengalami koma hepatikum. Ini didukung oleh adanya riwayat mondok di rumah sakit, yang menurut keluarganya, karena sakit liver. Saat datang, GCS pasien cuma 4 (E1V1M2), yang artinya koma.
Setelah dilakukan pengukuran tekanan darah, ternyata tekanan darahnya di bawah normal, yaitu 60/45. Segera saja dipasang infus NaCl dan kugrojog sebanyak 1 flabot dalam waktu 15 menit. Tekanan darah lalu diukur kembali. Ada peningkatan, yaitu menjadi 80/50. Grojog NaCl pun kulanjutkan hingga 3 flabot.
Karena curiga hipoglikemia, maka kulakukan juga pemeriksaan glukosa darah sewaktu. Hasilnya adalah 85 mg/dL. Relatif rendah menurutku. Karena itu kurencanakan untuk mengganti infus dengan D5 setelah flabot NaCl yang ketiga habis, memberi 1 flash D40 extra dan dilakukan pengecekan gula darah sewaktu tiap 6 jam sebagai evaluasi.
Setelah kondisi agak stabil, pasien lalu kukirim ke ICU untuk pengawasan lebih lanjut. Selain itu kutambahi terapi dengan inj cefotaxim 1 gr/12 jam dan inj ranitidin 1 ampul/ 12 jam.
Dua hari kemudian aku datang ke ICU untuk melihat kondisi pasien.
“Gimana kabarnya, pasien yang koma hepatikum?”, tanyaku pada perawat yang ada di sana.
“Udah CM (compos mentis, sadar penuh) kok dok”
“Dapet terapi tambahan apa dari dokter yang merawat?”
“Laktulosa 3 kali 20 cc. Pasiennya anemia dok, Hb-nya 5,5. Ini juga dapet tambahan PRC 1 kolf. Sumber perdarahannya kayaknya dari usus. Soale ini tadi pasien melena.”
***
Akan kujelaskan sedikit soal koma hepatikum, yang biasa disebut juga dengan ensefalopati hepatikum.
Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa ; sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum
Dalam arti yang sederhana, ensefalopati hepatikum dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Tindakan umum
Penderita stadium III-IV (stupor – koma) perlu perawatan suportif yang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, dan pasang kateter foley. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, sistem kardiopulmunal dan ginjal, keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
Tindakan khusus
Mengurangi pemasukan protein dengan diet tanpa protein untuk stadium III-IV. Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari bebas protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari).
Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism). Pertama, laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. Kedua, pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4). Ketiga, antibiotika : neomisin 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.
Obat-obatan lain
Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Hindari pemakaian sedativa atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan dimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Hentikan obat-obatan pencetus ensefalopati hepatikum; obat-obatan hepatotoksik (obat tidur, obat pereda nyeri), diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
“Mulai tidak sadar kapan pak?”, tanyaku pada salah satu keluarga yang mengantar.
“Sejak tadi pagi dok.”
“Malam sebelumnya masih sadar?”, tanyaku lagi.
“Masih dok. Tapi kondisinya lemah sekali. Makannya juga susah”.
Kuminta keluarga untuk mengganti dulu kain jarik yang lama dengan yang baru, sekaligus membersihkan tai yang ada dengan air. Dari kulit dan skleranya yang kekuningan, aku menduga bahwa wanita tua ini mengalami koma hepatikum. Ini didukung oleh adanya riwayat mondok di rumah sakit, yang menurut keluarganya, karena sakit liver. Saat datang, GCS pasien cuma 4 (E1V1M2), yang artinya koma.
Setelah dilakukan pengukuran tekanan darah, ternyata tekanan darahnya di bawah normal, yaitu 60/45. Segera saja dipasang infus NaCl dan kugrojog sebanyak 1 flabot dalam waktu 15 menit. Tekanan darah lalu diukur kembali. Ada peningkatan, yaitu menjadi 80/50. Grojog NaCl pun kulanjutkan hingga 3 flabot.
Karena curiga hipoglikemia, maka kulakukan juga pemeriksaan glukosa darah sewaktu. Hasilnya adalah 85 mg/dL. Relatif rendah menurutku. Karena itu kurencanakan untuk mengganti infus dengan D5 setelah flabot NaCl yang ketiga habis, memberi 1 flash D40 extra dan dilakukan pengecekan gula darah sewaktu tiap 6 jam sebagai evaluasi.
Setelah kondisi agak stabil, pasien lalu kukirim ke ICU untuk pengawasan lebih lanjut. Selain itu kutambahi terapi dengan inj cefotaxim 1 gr/12 jam dan inj ranitidin 1 ampul/ 12 jam.
Dua hari kemudian aku datang ke ICU untuk melihat kondisi pasien.
“Gimana kabarnya, pasien yang koma hepatikum?”, tanyaku pada perawat yang ada di sana.
“Udah CM (compos mentis, sadar penuh) kok dok”
“Dapet terapi tambahan apa dari dokter yang merawat?”
“Laktulosa 3 kali 20 cc. Pasiennya anemia dok, Hb-nya 5,5. Ini juga dapet tambahan PRC 1 kolf. Sumber perdarahannya kayaknya dari usus. Soale ini tadi pasien melena.”
***
Akan kujelaskan sedikit soal koma hepatikum, yang biasa disebut juga dengan ensefalopati hepatikum.

Dalam arti yang sederhana, ensefalopati hepatikum dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Tindakan umum
Penderita stadium III-IV (stupor – koma) perlu perawatan suportif yang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, dan pasang kateter foley. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, sistem kardiopulmunal dan ginjal, keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
Tindakan khusus
Mengurangi pemasukan protein dengan diet tanpa protein untuk stadium III-IV. Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari bebas protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari).
Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism). Pertama, laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. Kedua, pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4). Ketiga, antibiotika : neomisin 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.
Obat-obatan lain
Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Hindari pemakaian sedativa atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan dimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Hentikan obat-obatan pencetus ensefalopati hepatikum; obat-obatan hepatotoksik (obat tidur, obat pereda nyeri), diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
Sabtu, 24 Oktober 2009
Regulasi Cepat pada Hiperglikemia
Kasus diabetes di masyarakat semakin banyak. Komplikasinya juga semakin mudah ditemui, baik itu karena hipoglikemia maupun hiperglikemia. Untuk komplikasi hiperglikemia, saat aku koas dulu, aku pernah menjumpai kadar gula darah sewaktu sebesar 1000. Bukan main tingginya. Padahal normalnya kurang dari 200. Pasien itu akhirnya meninggal.
Hiperglikemia dengan dehidrasi
Pasien dengan kondisi hiperglikemia, apalagi dengan kadar yang begitu ekstrim, biasanya mengalami dehidrasi. Hiperglikemia akan mendorong terjadinya diuresis osmotik. Tekanan darah biasanya akan turun hingga di bawah normal. Dalam kasus ketoasidosis diabetik (KAD), biasanya juga dijumpai adanya napas cepat dan dalam (Kussmaul).
Terapi KAD ada dua tahap. Jam pertama cairan, jam kedua insulin. Pada jam pertama, dehidrasi yang terjadi perlu diterapi secepatnya dengan cairan. Pilihan antara NaCl 0,9% atau NaCl 0,45% tergantung dari ada tidaknya hipotensi dan tinggi rendahnya kadar natrium. Pada umumnya dibutuhkan 1-2 liter dalam jam pertama. Pedoman untuk menilai hidrasi ialah turgor jaringan, tekanan darah, keluaran urin dan pemantauan keseimbangan cairan.
Insulin baru diberikan pada jam kedua. 10 U diberikan sebagai bolus intravena, disusul dengan infus larutan insulin regular dengan laju 2-5 U/jam. Sebaiknya larutan 5 U insulin dalam 50 ml NaCl 0,9% bermuara dalam larutan untuk rehidrasi dan dapat diatur laju tetesannya terpisah (8-16 tpm). Metode ini disebut sebagai metode syringe pump. Dosis insulin 0,1 μL/kgBB/jam dengan evaluasi glukosa darah per jam.
Bila kadar glukosa turun sampai 300 atau kurang, laju larutan insulin dikurangi menjadi 1-2 U/jam dan larutan rehidrasi diganti dengan glukosa 5%. Pada waktu pasien dapat makan lagi, diberikan sejumlah kalori dalam 4 porsi, sesuai dengan kebutuhannya. Insulin regular diberikan subkutan 4 kali sehari secara bertahap (misal 4 x 8 U, 4 x 10 U, dst) sesuai kadar glukosa darah.
Hiperglikemia tanpa dehidrasi
Beberapa waktu yang lalu, ada pasien diabetes yang datang dengan keluhan kejang. Tekanan darahnya 150/90. Saat diukur, kadar glukosa darah sewaktunya 400-an. Kuberikan Humulin-R dengan metode sliding, dosisnya 8 U/8 jam. Selain itu juga kuberikan inj cefotaxim 1 gr/12 jam, inj piracetam 3 gr/6 jam dan inj diazepam extra. Evaluasi glukosa darah dilakukan per 6 jam, dengan catatan bila glukosa darah sewaktu kurang dari 100 maka insulin dihentikan. Outcome-nya cukup bagus. Pasien tidak kejang dan glukosa darah sewaktunya turun menjadi 300-an.
Metode sliding berarti menurunkan secara cepat kadar gula darah. Selain itu bisa digunakan untuk menentukan kebutuhan insulin dalam 24 jam. Dosis insulin disesuaikan dengan kadar glukosa darah sewaktu yang dipantau tiap 6 jam. Misalnya: 200-250 = 4 U; 251-300 = 8 U; 301-350 = 12 U, 351-400 = 16 U; 401-450 = 20 U; 451-500 = 24 U. Jika glukosa darah sewaktu kurang dari 200 maka insulin dihentikan.
Hiperglikemia dengan dehidrasi
Pasien dengan kondisi hiperglikemia, apalagi dengan kadar yang begitu ekstrim, biasanya mengalami dehidrasi. Hiperglikemia akan mendorong terjadinya diuresis osmotik. Tekanan darah biasanya akan turun hingga di bawah normal. Dalam kasus ketoasidosis diabetik (KAD), biasanya juga dijumpai adanya napas cepat dan dalam (Kussmaul).
Terapi KAD ada dua tahap. Jam pertama cairan, jam kedua insulin. Pada jam pertama, dehidrasi yang terjadi perlu diterapi secepatnya dengan cairan. Pilihan antara NaCl 0,9% atau NaCl 0,45% tergantung dari ada tidaknya hipotensi dan tinggi rendahnya kadar natrium. Pada umumnya dibutuhkan 1-2 liter dalam jam pertama. Pedoman untuk menilai hidrasi ialah turgor jaringan, tekanan darah, keluaran urin dan pemantauan keseimbangan cairan.
Insulin baru diberikan pada jam kedua. 10 U diberikan sebagai bolus intravena, disusul dengan infus larutan insulin regular dengan laju 2-5 U/jam. Sebaiknya larutan 5 U insulin dalam 50 ml NaCl 0,9% bermuara dalam larutan untuk rehidrasi dan dapat diatur laju tetesannya terpisah (8-16 tpm). Metode ini disebut sebagai metode syringe pump. Dosis insulin 0,1 μL/kgBB/jam dengan evaluasi glukosa darah per jam.
Bila kadar glukosa turun sampai 300 atau kurang, laju larutan insulin dikurangi menjadi 1-2 U/jam dan larutan rehidrasi diganti dengan glukosa 5%. Pada waktu pasien dapat makan lagi, diberikan sejumlah kalori dalam 4 porsi, sesuai dengan kebutuhannya. Insulin regular diberikan subkutan 4 kali sehari secara bertahap (misal 4 x 8 U, 4 x 10 U, dst) sesuai kadar glukosa darah.
Hiperglikemia tanpa dehidrasi
Beberapa waktu yang lalu, ada pasien diabetes yang datang dengan keluhan kejang. Tekanan darahnya 150/90. Saat diukur, kadar glukosa darah sewaktunya 400-an. Kuberikan Humulin-R dengan metode sliding, dosisnya 8 U/8 jam. Selain itu juga kuberikan inj cefotaxim 1 gr/12 jam, inj piracetam 3 gr/6 jam dan inj diazepam extra. Evaluasi glukosa darah dilakukan per 6 jam, dengan catatan bila glukosa darah sewaktu kurang dari 100 maka insulin dihentikan. Outcome-nya cukup bagus. Pasien tidak kejang dan glukosa darah sewaktunya turun menjadi 300-an.
Metode sliding berarti menurunkan secara cepat kadar gula darah. Selain itu bisa digunakan untuk menentukan kebutuhan insulin dalam 24 jam. Dosis insulin disesuaikan dengan kadar glukosa darah sewaktu yang dipantau tiap 6 jam. Misalnya: 200-250 = 4 U; 251-300 = 8 U; 301-350 = 12 U, 351-400 = 16 U; 401-450 = 20 U; 451-500 = 24 U. Jika glukosa darah sewaktu kurang dari 200 maka insulin dihentikan.
Kamis, 10 September 2009
Digitalis pada Takiaritmia

Apa yang Anda lihat dari gambar di atas? Orang yang tak paham bisa saja tidak terlalu tertarik dengan gambaran mirip sandi rumput itu. Tapi bagi dokter lain lagi ceritanya. Gambaran EKG di atas adalah takiaritmia. Kata “taki” menandakan bahwa jantung berdenyut di atas normal (> 100 kali per menit), sedangkan “aritmia” menandakan bahwa denyut jantung yang terjadi tidak beraturan.
Keluhan utama pasien biasanya berupa perasaan berdebar-debar. Nyeri dada dan sesak nafas tidak seberat bila gambaran EKG berupa ST-elevasi. Resiko kematian takiaritmia pun konon tidak sebesar infark miokard akut. Pun begitu, takiaritmia adalah salah satu penyebab terjadinya gagal jantung, lebih tepatnya, gagal jantung kiri.
Gambaran EKG tersebut diambil dari seorang pasien wanita, berumur 51 tahun, yang datang dengan keluhan nyeri perut di ulu hati dan badan panas sejak 2 hari sebelumnya. Saat diperiksa, tekanan darahnya 100/palpasi. Nadinya lemah, cepat dan tak beraturan. Sementara capillary refill time-nya < 2 detik. Kuguyur saja dengan satu flabot RL. Ternyata tekanan darahnya tidak berubah. Dengan kondisi ini, dan ditambah hasil rekaman EKG, dapat lah kupastikan bahwa problem utama pasien ada pada irama jantungnya. Segera saja kuberikan terapi oksigen 1-3 liter/menit, injeksi ampicillin 1 gr/8 jam, injeksi antalgin 1 ampul/8 jam, injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam, paracetamol 3 x 1 (bila panas) dan digoksin 2 x ½.
Sehari kemudian pasien membaik. Tekanan darah menjadi 130/ 70, dan oksigen sudah dilepas. Injeksi antalgin dihentikan, sementara digoksin dosisnya dijadikan 1 x 1. Terapi tambahan berupa injeksi furosemide 1 ampul/12 jam dan KSR 2 x 1.
Digitalis
Digoksin, sebagai salah satu digitalis, dianjurkan pemberiannya pada kasus takiaritmia seperti di atas. Digitalis mempunyai efek inotropik positif, artinya memperkuat kontraksi otot jantung. Di samping itu juga mempunyai efek kronotropik negatif, artinya menekan irama sinus sehingga denyut jantung menjadi lebih lambat. Oleh karena itu, digitalis sangat berguna meningkatkan kontraksi jantung pada penderita gagal jantung dan menekan berbagai aritmia supraventrikuler, seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, takikardia atrium dan lain-lain.
Digitalis yang tersedia di pasaran umumnya berbentuk tablet lanatosid C 0,25 mg, digoksin 0,25 mg, beta-metildigoksin 0,1 mg atau sedilanid 0,4 mg/2 ml untuk pemakaian intramuskuler atau intravena.
Jumat, 28 Agustus 2009
Tranfusi Darah di Rumah Sakit
Seorang pasien laki-laki berumur 60 tahun datang dengan diantar keluarganya. Terdengar isak tangis dari orang yang mengantar. Hal yang demikian, sepanjang yang aku tahu, menandakan bahwa kondisi pasien memang mengkhawatirkan. Dan memang, pasien saat itu dalam kondisi lemah. Pasien terlihat sesak nafas yang ditandai dengan frekuensi nafas yang meningkat. Selain itu pasien juga muntah beberapa kali selama perjalanan ke rumah sakit. Tekanan darah saat diukur 100/60.
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang kulakukan, pasien kudiagnosa sebagai anemia. Hb (hemoglobin) pasien saat itu 4,0 g/dL. Pasien selanjutnya direncanakan untuk mendapatkan tranfusi PRC sebanyak 2 kolf, injeksi ampicillin 1 gr/8 jam dan injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam. Hari berikutnya diberikan tranfusi PRC sebanyak 1 kolf per hari hingga Hb lebih dari 8.
Terapi Tranfusi Darah
Tranfusi darah diindikasikan pada pasien dengan anemia, perdarahan, gangguan pembekuan maupun thalassemia. Pasien dengan anemia berat bila tidak dinaikkan Hb-nya dalam waktu yang singkat bisa berakibat dua hal. Pertama, bisa berlanjut ke gagal jantung, karena kerja jantung meningkat. Kedua, bisa berlanjut ke hipoksia, karena oksigenasi jaringan yang berkurang.
Satu unit PRC bisa memberikan kenaikan Hb sebesar 0,25-0,5 g/dL. Dalam kondisi normovolemia, satu unit diberikan dalam rentang 1-3 jam, dan jangan lebih lama dari 5 jam, agar tidak tumbuh kuman selama darah berada dalam suhu ruangan.
Pada anemia kronik, dimana cairan tubuh tidak berkurang secara drastis, oksigenasi jaringan ini masih bisa dipertahankan oleh jantung. Caranya yaitu dengan meningkatkan cardiac output. Hal ini sesuai dengan rumus Nunn-Freeman, dimana Available O2 = CO {(Hb x SaO2 x 1.34) + (pO2 x 0.003)}. CO adalah cardiac output dan Hb adalah hemoglobin.
Tranfusi perlu diberikan bila Hb kurang dari 8 dan ada tanda-tanda kekurangan oksigen. Jenis darah yang diberikan ada dua macam yaitu whoole blood (WB) dan packed red cell (PRC). WB diberikan bila anemia disertai hipovolemia maupun trombositopenia. Tapi bila tujuannya hanya untuk meningkatkan Hb maka PRC adalah pilihan yang pas.
Reaksi Tranfusi
Demam. Reaksi ini paling sering terjadi, self limiting dan berhenti jika tranfusi dihentikan. Bila timbul bisa diterapi dengan antipiretik.
Alergi. Bisa berupa urtikaria, bronchospasme dan syok. Bila timbul diterapi dengan antihistamin, steroid maupun 0,3 mg efedrin iv.
Tranfusi PRC pada Thalassemia
Thalassemia disebabkan oleh kelainan sintesis rantai globin (α atau β) dengan gambaran darah khas yaitu hipokrom mikrositer. Thalassemia mayor memberikan gambaran klinis yang jelas berupa anemia berat, splenomegali, ekspansi sumsum disertai deformitas tulang, dan kematian prematur. Thalassemia minor biasanya tidak memberikan gejala klinis.
Derajat anemia yang terjadi pada pasien thalassemia dapat bervariasi dari ringan sampai berat akibat eritropoeisis yang tidak efektif. Transfusi PRC masih merupakan tatalaksana suportif utama pada thalassemia dengan tujuan mempertahankan kadar Hb 9-10 gr/dL agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Transfusi dengan dosis 15-20 mL/kgBB PRC biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu.
Tranfusi Trombosit pada Demam Berdarah
Di Singapura indikasi untuk tranfusi trombosit adalah AT<10.000/mm3 pada pasien yang stabil, <20.000/mm3 dengan perdarahan minor, dan <50.000/mm3 dengan perdarahan yang signifikan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang kulakukan, pasien kudiagnosa sebagai anemia. Hb (hemoglobin) pasien saat itu 4,0 g/dL. Pasien selanjutnya direncanakan untuk mendapatkan tranfusi PRC sebanyak 2 kolf, injeksi ampicillin 1 gr/8 jam dan injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam. Hari berikutnya diberikan tranfusi PRC sebanyak 1 kolf per hari hingga Hb lebih dari 8.
Terapi Tranfusi Darah
Tranfusi darah diindikasikan pada pasien dengan anemia, perdarahan, gangguan pembekuan maupun thalassemia. Pasien dengan anemia berat bila tidak dinaikkan Hb-nya dalam waktu yang singkat bisa berakibat dua hal. Pertama, bisa berlanjut ke gagal jantung, karena kerja jantung meningkat. Kedua, bisa berlanjut ke hipoksia, karena oksigenasi jaringan yang berkurang.
Satu unit PRC bisa memberikan kenaikan Hb sebesar 0,25-0,5 g/dL. Dalam kondisi normovolemia, satu unit diberikan dalam rentang 1-3 jam, dan jangan lebih lama dari 5 jam, agar tidak tumbuh kuman selama darah berada dalam suhu ruangan.
Pada anemia kronik, dimana cairan tubuh tidak berkurang secara drastis, oksigenasi jaringan ini masih bisa dipertahankan oleh jantung. Caranya yaitu dengan meningkatkan cardiac output. Hal ini sesuai dengan rumus Nunn-Freeman, dimana Available O2 = CO {(Hb x SaO2 x 1.34) + (pO2 x 0.003)}. CO adalah cardiac output dan Hb adalah hemoglobin.
Tranfusi perlu diberikan bila Hb kurang dari 8 dan ada tanda-tanda kekurangan oksigen. Jenis darah yang diberikan ada dua macam yaitu whoole blood (WB) dan packed red cell (PRC). WB diberikan bila anemia disertai hipovolemia maupun trombositopenia. Tapi bila tujuannya hanya untuk meningkatkan Hb maka PRC adalah pilihan yang pas.
Reaksi Tranfusi
Demam. Reaksi ini paling sering terjadi, self limiting dan berhenti jika tranfusi dihentikan. Bila timbul bisa diterapi dengan antipiretik.
Alergi. Bisa berupa urtikaria, bronchospasme dan syok. Bila timbul diterapi dengan antihistamin, steroid maupun 0,3 mg efedrin iv.
Tranfusi PRC pada Thalassemia
Thalassemia disebabkan oleh kelainan sintesis rantai globin (α atau β) dengan gambaran darah khas yaitu hipokrom mikrositer. Thalassemia mayor memberikan gambaran klinis yang jelas berupa anemia berat, splenomegali, ekspansi sumsum disertai deformitas tulang, dan kematian prematur. Thalassemia minor biasanya tidak memberikan gejala klinis.
Derajat anemia yang terjadi pada pasien thalassemia dapat bervariasi dari ringan sampai berat akibat eritropoeisis yang tidak efektif. Transfusi PRC masih merupakan tatalaksana suportif utama pada thalassemia dengan tujuan mempertahankan kadar Hb 9-10 gr/dL agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Transfusi dengan dosis 15-20 mL/kgBB PRC biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu.
Tranfusi Trombosit pada Demam Berdarah
Di Singapura indikasi untuk tranfusi trombosit adalah AT<10.000/mm3 pada pasien yang stabil, <20.000/mm3 dengan perdarahan minor, dan <50.000/mm3 dengan perdarahan yang signifikan.
Langganan:
Postingan (Atom)