Afandi Dwi Harmoko

Foto di samping diambil di Cagar Alam Sangeh, Bali kurang lebih 14 tahun yang lalu. Paling kiri adalah ibu saya, paling kanan adalah saya dan di antara kami adalah adik saya satu-satunya, Afandi Dwi Harmoko.

Nama ‘Afandi’ diambil dari nama pelukis bergaya ekspresionis yang meninggal pada tahun 1990-an, tidak lama setelah adik saya lahir. Dan memang, satu-satunya bagian dari keluarga kami yang berbakat dalam hal melukis ya cuma adik saya yang satu ini. Nama, memang ibarat doa.

Nama ‘Dwi’ artinya dua, karena memang anak kedua. Sebelum Afandi lahir sebenarnya ibu sudah mengandung dua kali, tapi dua-duanya mengalami keguguran. Afandi adalah anak mahal: butuh tujuh tahun untuk menunggu kelahirannya di dunia.

Sedangkan nama ‘Harmoko’ diambil dari nama Menteri Penerangan waktu itu. Belakangan, nama Harmoko sering dipelesetkan dengan ungkapan “Hari-Hari Omong Kosong”. Tapi pada kenyataannya adik saya jauh dari kesan itu, dirinya cenderung pendiam. Nama, tidak selalu mencerminkan orangnya.

Andri Kusuma Harmaya dan Afandi Dwi Harmoko bila diidentikkan dengan tokoh pewayangan mirip dengan Baladewa dan Kresna. Atau mungkin Adipati Karna dan Arjuna. Dan bukan tidak mungkin, Dasamuka dan Kumbakarna. Saya dan adik saya memiliki watak yang sangat berlainan, seperti bumi dan langit, seperti hitam dan putih dan atau seperti jamu brotowali dan jamu beras kencur. Afandi memiliki kulit yang putih bersih, rupawan, rendah hati dan akhlak yang baik. Itu semua bila diputar 193 derajat adalah karakteristik saya. Mungkin sudah suratan bila saya kemudian mewarisi semua sifat jahat dari keluarga saya. Dan di lain pihak, sifat baik dengan sukses melekat pada adik saya.

Tapi ada satu hal yang membuat saya sedikit bangga. Ibu saya pernah berujar, bahwa kelak, saya lah yang seharusnya bisa menjadi pegangan bagi adik saya. Ini ada sangkut pautnya dengan ramalan primbon. Tidak perlu saya menjelaskannya, karena ini sangat rumit dan sangat sulit dijelaskan dengan akal sehat.

Perawakan adik saya saat balita lebih kecil dibanding dengan saya di usia yang sama. Fakta ini mungkin ada hubungannya dengan konsumsi susu masing-masing dari kami. Saya mengkonsumsi susu hingga umur lima tahun, sedangkan Afandi sepertinya tidak sampai umur segitu. Mungkin juga ini berhubungan dengan prestasi akademik kami nantinya. Pelajaran moral kesebelas: berilah anak Anda dengan susu setiap hari hingga umur lima tahun bila berharap anak Anda kelak menjadi seorang dokter.

Saat SD, saya tidak pernah mendapat rangking 3, selalu rangking 2 kecuali pada saat lulus SD: saya juara pertama. Ini berbeda dengan adik saya yang harus bersusah payah untuk bisa mendapatkan rangking. Bahkan, saat mau masuk SMP dulu, adik saya hampir saja tidak bisa masuk di SMP favorit di kota kami. Ini sehubungan dengan NEM SD adik saya yang ‘mepet’.

Pun jalan yang ditempuh terjal dan berliku, Afandi sekarang akhirnya bisa mengikuti jejak saya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran, seperti yang dicita-citakan ayah kami.

“May Allah bless you, my bro…”


Prabu Baladewa - raja Mandura (kiri) dan adiknya, Prabu Kresna - raja Dwarawati (kanan). Gambar diambil dari [link].